"Namamu Vana?" Salah satu dari mereka bertanya, namun Silvana tidak merespon. "Tanpa nama marga. Kami juga tidak menemukan apa pun di catatan latar belakangmu. Hanya tertulis kau berasal dari Vighę, dan hanya memiliki seorang ayah—satu-satunya keluargamu."

Silvana masih membisu.

"Mari kita bicarakan soal beberapa masalah yang telah kau buat di Ruby. Kau tidak pernah masuk ke kelas pengajaran, namun mendapatkan peringkat tertinggi di kelasmu di bidang penguasaan materi tertulis. Ruang tata boga rusak karenamu dan kau juga sempat berkelahi dengan siswa Zaffir. Terlepas dari itu, kau baru pertama mengikuti turnamen panah dan mendapatkan skor sempurna di tembakan pertama."

Silvana tidak menyangkal catatan negatif mengenai dirinya. Dia mendengar, tapi terlalu lelah untuk menanggapi penuturan mereka. Sebaliknya, para dewan komite terlihat berusaha berpikir keras bagaimana harus menyikapi Silvana. Memang, gadis itu punya catatan buruk. Tapi catatan baiknya lumayan mampu menutupi.

Apakah Cambyses merekomendasikan Silvana karena tahu soal ini?

Para dewan melontarkan pertanyaan demi pertanyaan, tapi Silvana tidak menjawab. Pandangan gadis itu kosong dan terus saja menunduk. Akhirnya karena tidak sabar, seseorang tiba-tiba saja menggebrak meja. Silvana tersentak.

"Jawab tanyaku dengan jujur," katanya. "Hasutan apa yang kau gunakan sampai-sampai seorang Diamond meminta kami menjadikanmu sebagai kepala asrama?"

Mereka bicara apa? Kenapa Silvana tidak bisa mencerna satupun kalimat yang mereka ucapkan?

Setelah cukup lama menunduk dan baru kali ini mengangkat wajah, Silvana tertegun melihat sorot-sorot nyalang itu mengarah padanya—menusuk telak. Seperti hakim yang bersiap menentukan hukuman untuknya. Seperti kerumunan yang akan memojokkannya, memaksa Silvana berhimpit pada sudut yang sempit hingga sulit bernapas.

Apa yang telah dirinya perbuat sampai mereka memperlakukannya seperti ini?

"Jawab!"

Silvana tersentak lagi hingga kegugupan dan kegelisahannya kian menjadi.

"Menangis? Oh, yang benar saja," erang salah satu dari mereka. "Ruby sudah mendapat cukup banyak masalah lalu Diamond sialan kemarin justru mengirimmu ke sini?"

"Baru begini saja dia takut. Seperti tikus di gorong-gorong."

"Apakah Diamond berniat menjadikannya boneka?"

Tapi sebelum bentakan dan sindiran lain mengarah padanya, derit pintu yang dibuka langsung mengalihkan perhatian semuanya. Salah satu siswa komite hampir menumpahkan kekesalannya pada siapa pun yang membuka pintu, namun seketika mulut-mulut itupun dibungkam.

Derian masuk sambil mengulas senyum tipis.

"Guru.." Para siswa komite itu sontak berdiri lalu menunduk sekilas.

"Ada satu muridku yang tidak hadir di kelas, jadi kuputuskan untuk mencarinya," kata Derian. "Ternyata dia ada di sini."

Silvana menoleh saat Derian berdiri tepat di sebelahnya. Mendongak, gadis itu pun berkedip terkejut meski rongga dadanya naik turun tidak beraturan berkat tekanan-tekanan tadi.

Dengan alasan yang sengaja dibuat-buat, Derian akhirnya berhasil mengeluarkan Silvana dari sana. Mereka berjalan bersisian. Derian yang sadar dengan perasaan tidak tenang Silvana lantas merangkul pundak gadis itu dengan tangan kiri. Keduanya kemudian masuk ke satu ruang yang tampak seperti ruangan kerja. Silvana menurut sewaktu Derian mendudukkannya, sedangkan laki-laki itu sendiri menyeduhkan secangkir teh hangat yang dicelupkan sebutir manisan zaitun.

"Itu akan menenangkanmu," kata Derian.

Silvana menyesap tehnya. Hangat teh yang bening kecokelatan itupun mengalir ke tenggorokan, perlahan memadamkan kegelisahannya yang bergolak tidak karuan.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now