Chapter 40 : Misteri 10 dan 12

461 11 0
                                    

Apa perlu ya perpisahan menjadi pupuk yang akan menumbuhkan benih-benih cinta yang terbuat dari benci?

Hampir satu bulan Arfan pergi, meninggalkan Reina dan keluarganya, meninggalkan sekolah dan teman-temannya, dan Mira. Pelengkap hati yang juga dia tinggalkan.

Sampai, pada suatu malam di rumah Mira yang tidak pernah gelap-masih ingatkan dengan Mira yang pobia kegelapan-seseorang mengetuk pintu. Saat itu hujan deras dan waktu menunjukkan pukul 10.12 WIB. Waktu yang paling Mira sukai, karena Mira lahir di tanggal 10 bulan Desember pada jam 10.12 PM. Unik juga memang.

Hampir semua yang berkaitan dengan hidup Mira terjadi pada angka 10, 12, atau jam 10.12.

Pertama, sepucuk surat itu yang Mira baca tepat pada jam 10.12 PM. Mira yang saat itu masih kecil dan baru bisa membaca, menerima surat dari orangtuanya yang berisi perintah untuk belajar dengan tekun biar kelak menjadi orang berguna dan berpenghasilan tinggi.

Kedua, pada tanggal 10 Februari entah tahun berapa, Mira dengan tidak sengaja bertemu dengan artis kegemarannya, Agnes Mo. Dia akhirnya bisa ngobrol sepuas-puasnya dengan dia, ditraktir, sampai nonton bareng film yang baru tayang di bioskop. Bertemu dengan Agnes Mo bukan hanya impian semua laki-laki, tapi perempuan juga. Soalnya dia tipikal cewek yang pekerja keras, hebat, prinsipal, dan sempurna dah.

Ketiga, pada tanggal 12 Mei saat Mira masih duduk di SD. Saat itu ada kunjungan dari walikota di sekolahnya. Entah apa yang membuat Pak Walikota tertarik, yang jelas, dia langsung saja memangku Mira dan mewawancarainya menganai perpustakaan keliling dengan nada bicara yang sangat santai dan penuh kasih sayang.

Sebenarnya banyak sekali sih peristiwa-peristiwa dalam hidup Mira yang berhubungan dengan angka 10, 12, atau 10.12.

Tunggu. Kenapa gue ngurusin angka 10 dan 12 ya. Okeh, kembali pada malam itu. Mira sambil membawa tongkat kasti berjalan mendekati pintu. Takut-takut kalau yang datang itu adalah pencuri.

Mira itu kelewat pinter atau gimana ya? Masa seorang pencuri ngetuk pintu dulu. Tapi biarin dah, mungkin bagi Mira ini adalah taktik terbaru dari seorang pencuri.

Pas buka pintu, seseorang pingsan tepat di depan kakinya. Arfan, laki-laki itu adalah Arfan. Mira sempat melihat wajahnya sebelum dia jatuh pingsan.

Pak sopir yang mendengar namanya dipanggil-panggil langsung mendekat dengan Bi Icih yang mengekorinya dari belakang. Kaget karena Mira tiba-tiba saja berteriak. Malam-malam gini lagi, bukannya rumah ini gak angker, mana mungkin ada kuntilanak, suster ngesot, apalagi jailangkung berkeliaran di rumah Mira yang antimistik ini.

“Aduh Non Mira, ini siapa?” tanya Bi Icih yang kagetnya minta ampun.

“Arfan. Gimanain dong bi?”

“Udah, bawa ke kamar non aja!” Pak sopir dengan sigap membopong Arfan.

“Loh, kok kamar aku sih”

“Udah non, kamar tamu gak ada yang beres, kamar Non Natha udah dikunci. Kan Non Mira yang nyuruh Natha buat tidur jam 9”

“Heh, cewek rumpi. Ini Den Arfan mau dikemanain?” merasa dicuekin, pak sopir angkat bicara.

“Udah, kamar aku aja” ucap Mira ketus.

Arfan yang basah kuyup terbaring di tempat tidur Mira. Kulitnya putih pucat dan dingin seperti es. Mira tidak tahu apa yang telah terjadi pada Arfan selama dia menghilang, dan Mira juga tidak tahu apa hal yang membuat dia dengan rela hati mengunjungi rumah Mira.

Sementara bi Icih sedang sibuk menyadarkan Arfan dengan minyak kayu putihnya, Mira yang berada di kamar yang sama, sibuk mencari pakaian yang pas untuk cowok. Cukup sulit memang, karena Mira terbiasa dengan pakaian pink.

Lain halnya dengan pak sopir, dia sibuk mengeringkan rambut Arfan dengan handuk setelah sebelumnya membuatkan teh hangat di dapur. Natha, entahlah, apa dia terbangun atau tidak dengan keributan kecil di kamar sebelahnya.

Tidak butuh waktu lama untuk menyadarkan Arfan. Dia orangnya minimalis, bukan hanya minimalis dalam berbicara kepada orang lain kecuali Mira, juga minimalis dalam waktu pingsan. Ah, dia memang selalu begitu.

Mira lantas menyuruh pak sopir dan bi icih keluar, biar dia yang menyuruh Arfan ganti pakaian di kamar mandi.

Okeh, lagi-lagi tidak butuh waktu lama bagi dia berganti pakaian.

Apa yang dilakukan mereka berikutnya? Ngobrol panjang lebar? Nggak. Yang ada hanya melangkahkan kaki ke balkon kamar Mira, habis itu diam seribu bahasa. Tanpa senyuman, tanpa obrolan. Apakah satu ucap kata yang keluar dari mulut harganya sangat mahal sekali ya.

Lima belas menit berlalu, tanpa ada kata yang terucap. Selalu saja begitu, seakan lupa kalau galau dan rindu sudah lama menggerogoti harinya berminggu-minggu ini.

“Kenapa kamu menghilang, apa pula yang membuat kamu datang kemari?” nah, akhirnya bicara juga tuh satu orang.

Tidak ingin membahas masalah yang serius, Arfan memulai pembicaraan dengan menyapa “Mira”

“Iya, lo apa kabar?”

“Saya baik. Dan selalu baik. Kamu lancar di sekolah?”

“Gue bikinin puisi nih buat lo”

“Saya gak punya banyak uang untuk bayar puisi kamu”

“Gue pengarang, bukan penjual”

“Tapi itu pasti mahakarya kamu”

“Biasa saja sih. Nih, gue suka baca ini sebelum gue tidur. Gue kangen sama lo”

“Masa? Kirain saya saja yang kangen sama kamu, Mir”

Dengan sangat serius, Arfan membaca kata demi kata dalam puisi Mira berjudul “Suatu Hari” seakan, setiap ekspresi wajah darinya sedang berusaha menerjemahkan kata-kata itu. Menghargai Mira yang merindukannya dengan puisi. Sampai tak sadar kalau Mira sudah memeluknya dan menenggelamkan wajahnya dalam bahu Arfan yang selalu dirindukannya seperti rumah.

“Sebegitu rindunya kepada musuh sendiri?” Arfan berucap dengan tetap menggunakan nada yang dingin dan santai. Seperti tidak ada apa-apa.

“Musuh?”

“Kamu yang bilang kan!” kini mereka berhadapan, membiarkan mata mereka bertemu tuk membayar rindu yang mengguncang hati mereka belakangan ini.

“Nggak kok” ucap Mira malu-malu.

“Itu wajah kenapa jadi merah-merah gitu” Arfan tertawa kecil, “saya senang, kamu merindukanku. Kamu matahari yang tidak pernah padam dalam hatiku”

“Kamu kenapa hujan-hujanan gini. Dan lagi, kamu kenapa pergi, kamu membenci aku?”

“Sudah berani ngomong pake aku-kamu ya sekarang. Enak didengar loh Mir”

“Aku lupa caranya berantem denganmu. Kasian juga si Natha yang suka dimarahin guru karena malas belajar. Bilangnya karena kamu gak pernah balas chatnya

“Oh itu, kalau kakaknya malas belajar juga nggak? Kata pa satpam sih sering bolos” Arfan mengangkat alis sebelah, “jangan-jangan mantai lagi”

“Enggak kok. Aku kangen aja sama kamu, banget. Kalau bisa kamu tinggal aja ya di rumah ini. Kamu seperti embun yang memberi penyejuk pada semesta. Bukan hanya Natha yang seneng, kakaknya juga.

Aku curiga, kamu mau ngalahin rekor bolos aku ya. Gak takut gitu aku marah gara-gara rekor aku diambil?”

“Perginya saya ada manfaatnya juga ya Mir. Kamu tambah puitis gitu, harusnya lama-lama aku pergi” Arfan gak hanya omong kosong, dia benar-benar berdiri dan membalikkan badan.

“Eh, jangan Fan. Aku gak mau kamu hilang lagi. Kamu tahu, kalau suatu benda di muka bumi ini tidak memiliki bayangan, bisa dipastikan kiamat akan segera terjadi. Kamu adalah bayangan bagiku, dan aku bisa menjadi bayangan untukmu” tanpa basa-basi, Mira memeluk Arfan. Erat, seperti anak kecil yang memeluk ayahnya sepulang kerja. Laki-laki yang menjadi pahlawannya, pahlawan dunianya.

Arfan lebih memilih diam dan membiarkan tubuhnya mendapat pelukan dari Mira. Orang yang selama ini membenci dia. Apa perlu ya perpisahan menjadi pupuk yang akan menumbuhkan benih-benih cinta yang terbuat dari benci?

*****

Amygdala [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang