Chapter 35 : Alunan Ritme

387 12 0
                                    

Sebego-begonya cowok, dia gak akan pernah mau kalau disalahkan melulu. Terlebih, kalau dia sendiri tidak tahu apa kesalahannya”

Waktu lombanya ngebet minta ampun, tapi pengumumannya diundur mulu. Aneh. Kalau Mira memang biasa saja, dia sekarang sudah tidak mengharapkan menang. Biarpun menang, itu tidak akan membuat Mira tersenyum. Karena itu bukan harapannya.

Satu lagi Arfan. Kalau dilihat tegang sih enggak, dia seperti biasa, mengerjakan matematika di kelas, pergi ke perpustakaan, dan main basket selepas pulang sekolah. Karena kemarin-kemarin dia kurang latihan basket, jadi sekarang lagi kangen-kangenan tuh sama lapang dan bola.

Tapi kalau ditanya apakah Arfan berharap menang matematika, dengan lugas Arfan pasti akan bilang ‘ya’.

Hari-hari Mira lalui dengan menulis dan menulis, seolah aura dirinya menjadi berkilau kala dia menulis kata demi kata pada laptopnya. Di mana Mira berada, di situ laptop berada. Udah kayak mobil ambulance dan uwiw-uwiwnya. Gak bisa dipisahin.

Arfan senang melihat Mira menulis, meskipun Arfan tidak tahu sebagus apa kualitas tulisannya, tapi setidaknya itu membuat gendang telinga Arfan sehat selama beberapa hari ini. Karena Mira hampir gak pernah ngeluarin suara toa.

Baru saat hari ketiga, ada pengumuman dari pihak sekolah kalau yang mendapat juara satunya adalah.......

*****

“Mbeb Irlen, kalau abang Bobby suka sama kamu gimana?” owalah, ini lagi pidato Bahasa Arab loh di pelajarannya Pak Rahmat. Guru yang agamis sekaligus killer ini. Kok diakhirnya dengan berani dia nembak Irlen sih.

Wajah Irlen langsung memerah seketika. Gimana gak malu coba. Ini di depan kelas, saat jam pelajaran, dan ada guru pula.

Sontak semua orang tertawa. Tapi Bobby tidak menghentikan aksinya walaupun Pak Rahmat sudah geleng-geleng kepala.

“Len, abang memang tidak seganteng oppa Koreamu. Tapi hidup itu harus realistis kan? Arfan bilang abang agak mirip gitu kok sama Bobby koreamu. Abang itu bagai kapal yang terus berlayar di luasnya samudra biru. Tapi abang bingung mau berlabuh di mana, abang kepingin kamu Len yang jadi pelabuhanku. Pelabuhan pertama, dan terakhir”

Bobby berucap tanpa jeda, tidak peduli dengan teriakan dan tawa anak kelas X IPA 3 yang semakin riuh. Juga tidak peduli dengan Pak Rahmat yang mulai memegang penggaris kayunya. Walaupun sadar, Irlen terlihat sedikit meredam emosi.

“Heh. Kamu kira saya patung di sini!” Pak Rahmat akhirnya angkat bicara.

Irlen apa kabar? Dia berdiri dengan penuh emosi dan berjalan ke depan. Ya, ke depan ke arah Bobby. Bukan nyamperin kok, Irlen hanya menatap Bobby speechless dan berlalu pergi ke luar kelas.

“Tuh kan! Makanya kalau suka datengin orangtuanya. Situ pikir ane bapaknya dia apa. Pake nembak-nembak depan ane. Tuh ditolak. Islam itu menjaga hubungan. Tidak ingin umatnya tersesat salah jalan..........” Pak Rahmat akhir-akhirnya ceramah juga.

Tapi Bobby tidak mendengarkan semua ucapannya. Karena dia ikutan keluar untuk mencari Irlen. Gak boleh lepas nih, fikirnya.

Setelah sekian lama mencari, akhirnya Irlen ketemu juga di halaman belakang sekolah. Tempat yang jarang terjamah umat manusia SMA Bina Bangsa.

Dia, entahlah. Apakah sedang menangis atau sedang tersipu malu.

“Irlen, jangan marah dong. Gue kan cuma.....” ucapannya terpotong.

“Cuma mau mainin gue?” balas Irlen lugas.

“Eh, siapa bilang. Gue kepengen buktiin kalau gue benar-benar serius dengan lo Len. Gue bener-bener sayang. Sejak pertama Arfan nyeritain kalau dia suka sama Mira, entah kenapa gue kecantol gitu sama lo”

Amygdala [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang