Story Of Luca | 05

924 72 8
                                    

Devan menatap hiruk-piruk di depannya dengan malas. Sungguh, Devan sangat membenci tempat seperti ini. Dia akan merasa sedikit cemas jika berada di kerumunan. Namun, saat ini pikirannya benar-benar kacau, dia butuh sesuatu yang bisa menyegarkan otaknya.

Mata Devan mengedar, hingga manik hijau miliknya bertemu pandang dengan wanita yang menatapnya dengan penuh senyum, cukup jauh di sisi kirinya.

Senyum wanita itu semakin mengembang, sekejap dia bangkit dan berjalan ke arah Devan.

"Apa aku boleh duduk di sini?!" ucapnya setengah berteriak. Suara wanita itu benar-benar terhalau oleh suara keras musik yang tengah mengalun, mengiri orang-orang yang meliuk di atas lantai dansa.

Devan mengangguk, "Silakan," ucapnya. Lantas Dia kembali beralih pada gelas sampanye miliknya. Menyesapnya perlahan, menghiraukan keberadaan wanita cantik di sebelahnya.

"Apa kau sendiri?" tanya wanita itu lagi.

Mau tidak mau, Devan kembali memusatkan pandangannya pada wanita itu. "Seperti yang kau lihat," jawabnya malas.

Lagi, senyum wanita itu merekah. "Daisy," ucapnya sembari mengulurkan tangannya.

Devan menatap tangan wanita itu, begitu lentik dengan kuku-kuku yang berhias cat berwarna mint mengkilap.

Devan meraihnya. "Devan," balasnya, lantas segera melepas tangannya.

"Sepertinya kau sedang banyak masalah?"

Lagi-lagi, Devan menghiraukan suara wanita di sampingnya.

Tak habis kata Daisy kembali berucap, "Apa kau butuh penyegaran? Mungkin aku bisa membantumu malam ini?"

Benar, kata-kata Daisy berhasil menarik perhatian Devan. Lelaki itu tampak menatapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Cukup lama, Devan tetap pada keadaannya. Hingga akhirnya dia berkata,

"Hanya untuk malam ini," ucapnya yang membuat senyum wanita itu semakin merekah. Daisy menggangguk dengan wajahnya yang benar-benar terlihat berseri.

***

"Apa?! Lelaki itu mengatakan seperti itu?!" ucap Nancy dengan nada setengah meninggi. Wajah cantiknya terlihat merah padam.

Benar-benar, kesabarannya serasa sudah habis setelah mendengar penuturan Luca. Dia tahu, bukan dirinya yang mengalami penghinaan itu. Namun, mungkin akan lebih baik jika itu dirinya. Luca adalah sahabatnya, siapapun yang menyakiti Luca sama saja menyakitinya, bahkan berkali-kali lipat lebih menyakitkan.

Ditatapnya Luca yang tampak murung, matanya menatap jemari yang menyusuri bibir mug di tangannya dengan pandangan kosong.

"Apa kau akan datang besok?"

Pertanyaan Nancy tak kunjung mendapat respon. Wanita itu terlihat masih bertekur dengan pikirannya.

Helaan napas Luca berhembus dengan beratnya. Sungguh, Luca sangat bingung saat ini. Dia sangat butuh uang itu. Demi Tuhan, sangat. Namun, dia tidak menyangka jika lelaki itu adalah lelaki yang menolongnya. Bukan masalah memang, mengingat pertemuan pertama mereka yang tidak berjalan baik. Tapi entahlah.

Luca memejamkan matanya. Ini adalah satu-satunya jalan untuknya agar mendapatkan uang sebanyak itu. Tapi, apakah dia akan melakukannya?

"Entahlah..." Luca akhirnya bersuara.

Nancy mendekatkan duduknya. Memeluk pundak Luca dengan hangat.

"Jika kau masih ragu, kau tidak perlu melakukannya. Kita akan mencari jalan lain untuk mendapatkan uang itu. Lagipula, lelaki itu sepertinya bukanlah lelaki yang baik. Kau bisa lihat dari dandanannya yang seperti itu," ucap Nancy.

Story Of LucaWhere stories live. Discover now