Prolog

7.2K 162 3
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah suatu kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
~Niu Aster~

----------------------------------------------------------------

Keadilan, mungkin kata itu memang sudah benar-benar hilang dari dunia ini. Sekarang semua orang lebih memuja kekuasaan dari pada keadilan. Semua sudah buta, karena kini uang lebih berharga dari pada sebuah keadilan. Uang lebih banyak berbicara dari pada keadilan. Suara uang lebih nyaring daripada teriakan keadilan.

Kekuasaan, uang, dan keserakahan adalah suatu gabungan yang luar biasa apik memainkan perannya di dunia kejam ini. Kekuasaan, bertindak dan patuh terhadapan uang karena manusia memiliki keserakahan.

Sungguh, Luca muak dengan semua itu. Semua yang ada di dunia ini sungguh, membuatnya muak.

"Minta maaflah padanya," kata seorang lelaki yang terlihat begitu frustasi di hadapannya.

Luca menatap lelaki di depannya, pandangannya begitu hancur. "Saya tidak melakukan sesuatu yang salah, tapi kenapa saya harus meminta maaf," ujarnya.

"Aku tahu. Tapi kau juga tahu bukan, dia bukanlah orang sembarangan. Jika kau benar-benar akan melaporkan kasus ini ke polisi. Kau tahu benar, siapa yang akan menang nantinya?"

Luca memutar matanya dengan helaan napas panjang lolos begitu saja dari bibirnya.

"Dunia ini kejam Luca, semua yang ada di dunia ini takluk dengan uang. Karena uang bahkan kekuasaan pun bisa dibeli. Keadilan mungkin sangat berharga bagi orang kecil seperti kita, tapi apa gunanya jika kita tidak punya uang."

"Tapi ini sungguh tidak adil. Dia benar-benar sudah berusaha melecehkanku, tapi aku yang harus minta maaf?" ucapnya tercekat.

"Apa kau pernah menemukan keadilan di dunia ini?" lelaki itu menjeda ucapannya sejenak, "Tidak. Semuanya menang karena uang. Karena uang adalah segalanya, maka dari itu keadilan pun bisa dibeli hanya dengan uang," lanjutnya menjawab pertanyaannya sendiri.

"Sekarang minta maaflah. Dan semuanya akan selesai."

Lagi, Luca menghela napasnya. Sungguh, dia tidak tahu dunia apa yang sudah dia tinggali selama 24 tahun hidupnya. Mengapa semua yang ada di dunia ini terasa benar-benar sangat kejam. Tidak ada keadilan, kekuasaan bahkan sudah dibutakan karena uang.

Andai dia terlahir sebagai orang kaya akankah hidupnya terasa lebih nyaman? Akankah dia bisa hidup lebih baik, bahkan barang sedikit saja?

***

"Apa menikah?" lelaki itu begitu terkejut, hingga menegakkan tubuhnya yang semula terbaring.

Perlahan dia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, "Aku akan memikirkannya," lanjutnya.

Devan memijat pelipisnya yang semakin terasa nyeri. Sungguh, ini bukan persoalan mudah untuknya. Ditambah permintaan ayahnya yang terasa mendesak untuk segera menikah. Dia tahu usianya mungkin memang sudah memasuki jenjang 31 tahun, tapi bukankah usia itu masih cukup wajar untuk seorang lelaki?

Pernikahan adalah hal terkonyol yang tidak pernah dia pikirkan. Hidup terkekang dengan anak-anak dan urusan keluarga. Sungguh, itu sangat tidak sesuai dengan gaya hidupnya yang selalu ingin bebas.

Sebagai seorang pelukis dia bahkan harus sering bepergian kemana-mana. Untuk pekerjaan atau bahkan hanya untuk sekedar mencari ide dan menyegarkan pikirannya. Lantas, bukankah menikah akan menghalangi hidupnya?

Helaan napas Devan terasa begitu berat, sungguh dia butuh udara segar untuk saat ini. Perlahan dia beranjak dari duduknya dan melangkah keluar kamar.

Story Of LucaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang