Story Of Luca | 04

889 80 1
                                    

Luca terpaku, matanya menatap Nancy yang menenteng dua gaun cantik milik wanita itu. Sungguh, dua gaun itu sama indahnya. Satu gaun berwarna peach sepanjang lutut dengan bruket bermotif bunga. Sedang satu gaun lainnya, berwarna putih dengan renda yang terlihat begitu elegan dengan panjang yang juga jatuh di atas lutut.

"Jadi kau akan mengenakan yang mana?" tanyanya. Sembari mengacungkan gaun di tangan kiri dan kanannya.

"Keduanya sama-sama cantik, Nancy. Aku bingung memilihnya. Lagipula, kenapa harus memakai gaun koleksimu? Aku pun punya beberapa gaun yang belum pernah aku pakai," jawab Luca, sembari kembali pada buku bacaannya.

Nancy menghampiri Luca, lalu menghempaskan tubuhnya di samping wanita itu. "Tidak! Semua gaun koleksimu benar-benar sudah sangat ketinggalan jaman. Kau harus tampil cantik di depan lelaki itu. Mereka dari kalangan atas, pastilah mereka menyukai wanita yang terlihat anggun dan berkelas."

Luca menghela napasnya, "Tapi ini berlebihan. Kau sampai menghabiskan uangmu untuk membeli ini semua."

Luca menatap sepatu berhak tinggi berwarna putih yang ada di atas meja, masih lengkap dengan kardusnya. Begitupun dengan pernak-pernik beserta beberapa alat make up.

"Aku hanya ingin kau tampil cantik di depannya, karena dengan begitu, dia pasti akan memilihmu," ucap Nancy.

"Aku masih tidak yakin dengan semua ini, Nancy," jawab Luca meragu.

Nancy menghela napasnya. Meletakkan kedua gaun di tangannya di atas meja, lantas meraih kedua jemari sahabatnya.

"Aku tahu ini bukan hal yang paling benar, tapi setidaknya ini adalah hal terbaik yang bisa kau lakukan. Lagi pula, hanya dua tahun, aku pikir itu bukanlah waktu yang lama."

Luca masih kurang begitu yakin. Sungguh, dia masih merasa bersalah jika dia sampai melakukan ini. Bagaimana dengan masa depannya? Bagaimana jika suaminya kelak tidak akan menerima kenyataan jika dia pernah mempermainkan pernikahan demi uang?

Dan uang? Luca menghela napasnya. Benar, dia memang harus mendapatkannya segera. Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu jika dia tidak melakukan pernikahan ini.

"Kata bosku, temannya bukanlah orang yang terlalu ribet. Dia hanya tidak suka suasana yang ramai dan tempat yang kotor. Soal makanan dia juga bukan orang yang pemilih, soal rasa bahkan dia tidak terlalu mempermasalahkan. Jadi, bukankah dia lelaki yang terdengar begitu mudah?"

Lagi, Luca menghela napasnya. Itu memang terdengar tidak begitu sulit. Dia bukanlah orang yang banyak omong, dia bahkan juga menyukai kebersihan. Selain itu, dia cukup jago dalam memasak. Itu terdengar tidak sulit sama sekali. Tapi haruskah dia melakukannya?

Akhirnya setelah menimbang pemikirannya, Luca menganggukan kepalanya. Memunculkan senyum cerah di wajah Nancy.

"Bagus," serunya. "Aku akan membuatmu tampil berbeda malam ini," ujarnya, lantas mulai meraih alat make up yang ada di atas meja.

***

Devan menatap jemarinya yang bergerak menyusuri bibir cangkirnya. Dia melirik arloji yang bertengger di pergelangan tangannya. Lantas matanya menatap Calvin yang sibuk dengan notebook di hadapannya.

"Berapa lama lagi kita harus menunggu?"

Calvin yang tengah sibuk pada notebook miliknya beralih menatap Devan yang tengah menatapnya. Dia melirik arlojinya, "Mungkin sebentar lagi. Lagi pula, kita baru menunggu selama sepuluh menit."

Helaan napas lolos dari bibir Devan, "Kau tahu kita tidak pernah menunggu." Devan menjeda ucapannya, lantas mulai beranjak. "Anggap dia gugur," ucapnya lantas mulai beranjak. Namun, langkahnya terhenti saat suara ketukan terdengar.

Story Of LucaWhere stories live. Discover now