2. Bertemu

70.2K 6.7K 66
                                    

Aku mengeliatkan tubuhku ketika samar-samar terdengar suara orang bicara. Aku menajamkan pendengaranku. Suara Mama, mungkin sedang ada tamu.

Aku melirik jam yang tergantung tepat di depanku. Sudah jam lima sore, lama juga aku tertidur. Aku menguap lebar. Malas- malasan aku keluar dari kamar. Lumayan hari ini bisa tidur nyenyak setelah bolos dari mata kuliah Aris.

Pintu kamarku baru terbuka setengah saat kembali terdengar suara tamu Mama dari ruang tamu. Aku menghentikan langkahku, sepertinya aku kenal dengan suara orang itu.

Aris???!!!

Aku kembali masuk dan menutup pintu kamarku. Mau apa Aris ke rumahku jam segini. Biasanya juga kalau ke rumah jadwalnya malam hari, itu pun buat bertemu Mas Pram. Aku menajamkan pendengaranku dari balik pintu.

"Lagi tidur tuh dari siang tadi. Dia nggak ada ngomong apa-apa sama Tante. Pulang kuliah langsung masuk kamar, nggak ada bilang kalau dia sakit." samar-samar terdengar suara Mama.

"Masuk aja ke kamarnya, paling juga masih tidur." Aku tersentak kaget dan buru-buru melompat ke tempat tidur. Pasti Aris mau memastikan kebenaran aku sakit atau tidak. Aku menarik selimutku dan pura-pura tertidur. Gawat!

Terdengar suara pintu kamarku terbuka. Aku menahan napas sambil tetap memejamkan mataku. Semenit, dua menit, sunyi. Pelan-pelan kuberanikan membuka mataku. Aku mengedarkan pandanganku. Tidak ada Aris.

Buru-buru aku melempar selimut dan beranjak dari tempat tidur. Aku baru bisa bernafas lega saat terdengar suara motor besar Aris meninggalkan rumahku.

Apa maksudnya dengan tiba-tiba datang ke rumah. Selama ini Aris tidak pernah perduli dengan keberadaanku. Bahkan saat bertemu di kampus juga, dia seolah-olah tidak kenal denganku. Apalagi pada saat di kelasnya, aku benar-benar dianggap seperti sebutir debu, sama sekali tidak pernah diperhatikannya.

Aris cuma bisanya mencari-cari keburukanku di kampus, kemudian melaporkannya pada Mas Pram. Aku tidak perlu mencari tahu lagi siapa yang selama ini membuat Mas Pram selalu menasehatiku karena nilai-nilaiku yang tidak begitu bagus atau betapa seringnya aku membolos di mata kuliahnya.

--

Aku menyeret langkahku dengan tergesa-gesa. Aku lupa kalau ada mata kuliah Kimia Organik yang jadwalnya dimajukan jadi siang ini. Semester lalu, nilai mata kuliah Kimia Organikku tidak begitu bagus. Sehingga semester ini aku harus mengulang, setidaknya aku harus mengejar nilai kali ini minimal C.

Aku menaiki tangga dengan cepat, setengah berlari melewati Laboratorium Minyak Bumi yang dipenuhi oleh mahasiswa tingkat atas yang sedang melakukan praktikum.
Langkahku baru terhenti saat merasakan tubuhku menabrak seseorang. Tidak sakit, cuma agak sedikit memalukan dalam kondisi yang ramai seperti ini.

"Kenapa harus berlari, seperti anak kecil." Aku terdiam sejenak. Sepertinya aku kenal siapa orang yang bisa berbicara menyebalkan seperti itu.

"Maaf, nggak sengaja," sahutku pura-pura tidak perduli.

"Lain kali jangan berlari di lingkungan kampus," katanya lagi. Aku menegadah, menatap matanya dengan tajam. Bapak dosen yang satu ini sungguh membuat aku jengkel.
Lihat saja penampilannya sekarang, berkemeja rapi, celana hitam yang disetrika hingga licin dan rambutnya yang basah karena gel rambut. Huuh, pantasan saja banyak mahasiswi yang tergila-gila dengannya. Tampangnya yang sok dingin dan jarang tersenyum malah membuat dia tambah misterius. Uppss! Gawat otakku sudah terkontaminasi bakteri Aris.

"Iya, maaf Pak," kataku lagi. Aku segera berjalan menjauh, aku tidak mau berurusan dengan Aris saat ini, apalagi jika di kampus.

"Nanti ke ruangan saya," katanya saat aku sudah berjalan beberapa langkah menjauhinya. Ke ruangannya?

"Maaf, saya ada kuliah sekarang, Pak," jawabku menahan jengkel.

"Saya bilang nanti, bukan sekarang," sahutnya menyebalkan.

"Kita harus membicarakan tentang nilai mid semestermu dan kehadiranmu di mata kuliah saya," lanjutnya.

Ada ide apa yang sebaiknya aku lakukan di kondisi seperti ini? Menari sambil bawa pom-pom mungkin?

Aku menarik nafas panjang. Oke, aku harus berpikiran jernih. Aris ini dosenku, orang yang harus dihormati. Tidak boleh kujambak ataupun kugetok.

"Baik, Pak," jawabku pasrah.

Kalau semester ini aku mengajukan pindah jurusan, kira-kira masih bisa tidak ya?

--

Mei menjerit-jerit saat tahu aku dipanggil Aris ke ruangannya. Dia bilang aku sangat beruntung. Aku malah merasa seperti sudah jatuh tertimpa tangga.

Jarang-jarang ada dosen yang secara pribadi memanggil mahasiswanya. Biasanya urusan pembinaan mahasiswa adalah tugas dosen wali, bukan dosen mata kuliah.

Aku menatap pintu ruangan Aris yang tertutup. Di pintu tertempel jelas namanya beserta jadwal bimbingan skripsi dan penelitian. Bagaimana jika Aris menjadi dosen pembimbing di penelitian atau skripsiku nanti? Lebih baik aku memikirkan rencanaku untuk kabur dari sekarang.

Perlahan kuketuk pintu ruangan Aris. Sengaja kulakukan dengan pelan, agar tidak didengar oleh Aris jika memang dia ada di dalam ruangan. Aku bisa memberikan alasan jika memang sudah ke ruangannya, tapi dia tidak ada di tempat.

"Masuk," suara dari dalam terdengar begitu berat. Tak urung, nafasku serasa sulit untuk ditarik. Sial, seharusnya aku tidak perlu menuruti kemauan Aris.

--

Past & Present : You (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang