"Ini prosa,"

"Hm.. Lalu?" ulang Wahid bertanya karena tidak paham.

Dia bisa melihat Barra tertawa geli. Lalu menepuk paha Wahid yang tertutup oleh kain sarung.

"Ah, dasar anak SMP, mana paham lo soal cinta,"

Dalam satu lirikan, Wahid mencibir kesal. Mengapa sahabatnya satu ini bisanya hanya menghina saja kerjaannya.

"Tapi bagus nggak? Mulus kan ya kalau dikirim buat seseorang. Yah walau mulusnya nggak kayak muka lo. Tapi gue yakin ini indah," ucap Barra membanggakan diri.

Wahid tak menjawab. Dia berjalan ke arah dapur di mana Agam sudah menyajikan makanan yang baru saja selesai dia masak.

"Hid, asem banget lo. Malah kabur gitu aja. Mana bau banget lagi!!! Lo bukan flu itu mah, cuma nahan boker aja!!!" amuk Barra kesal.

Kali ini Wahid cekikikan puas. Kapan lagi dia bisa membalas sahabatnya itu. Selagi ada amunisi kenapa tidak dikeluarkan?

"Sorry deh. Gue mau boker nanggung. Mau makan dulu. Biar nanti yang keluar sekalian gitu," kekehnya semakin geli.

Agam sekilas melirik, tetapi mengabaikan kembali. Ia seakan tidak peduli dengan candaan kedua sahabatnya.

"Jangan lupa minum obat, lo."

"Beres!!!" satu suapan besar sup ayam yang Agam buat lolos masuk ke dalam mulutnya. Dia tersenyum lebar menandakan makanan tersebut nikmat rasanya.

"Bar, nggak makan?"

"Dia kenyang hirup gas beracun," celetuk Wahid geli.

"Enak aja, lo. Gue makan. Mau simpen tulisan gue dulu. Nanti hilang semua, gue nangis!!"

"Hari ini lo di rumah aja kan?" tanya Agam melirik Wahid yang fokus menunduk, untuk menghabiskan makanannya.

"Pengennya sih gitu, tapi..." gantung Wahid pada kalimatnya. Dia ragu membahas hal ini di depan Barra dan Agam, karena dia tidak ingin kedua sahabatnya ini menjadi salah sangka kembali. "Tapi gue mau sholat jum'at," cicit Wahid pelan.

Sejenak Wahid menunggu respon Agam, tetapi semua itu bagaikan angin lalu untuknya. Lalu ketika ia melirik Barra, laki-laki itu tengah sibuk sendiri dengan ponsel di tangannya.

 Lalu ketika ia melirik Barra, laki-laki itu tengah sibuk sendiri dengan ponsel di tangannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo sama Barra nggak mau ikut gue sholat jum'at?" tanya Wahid memberanikan diri. Setidaknya dia sudah mengajak untuk menuju kebaikan walau setelahnya dirinya akan dihina atau dicaci maki.

"Wahid, Wahid...!!! Gue sama Agam udah 2 tahun ini nggak kenal apa itu sholat. Apalagi sholat jum'at. Gue sih ingetnya cuma sholat jenazah, siapa tahu lo mau gue contohin. Tapi harus lo yang berbaring di depannya,"

"Gue lagi nggak bercanda Barra!!!" ucap Wahid agak membentak.

Kali ini Agam menghentikan makannya. Dia menatap Wahid dengan tatapan tidak suka, "gue rasa nggak ada yang perlu dijadikan bahan bercandaan di sini."

"Itu. Barra, gue ngomong apa, dia malah jawab apa!!!" balasnya terpancing emosi.

Karena merasa sudah tidak nyaman, Agam bangkit dari kursinya. Mencoba melangkah untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Gam, lo pasti salah paham lagi kan? Serius, kenapa sih di sini nggak ada keterbukaan masalah agama? Memang apa salah gue kalau sekarang gue ajak kalian buat sholat? Kecuali kalian memang nggak punya agama!!!"

"Lo...!!!!" tunjuk Agam tepat di kening Wahid. Dia mendorongnya cukup kuat, dengan segenap emosinya. "Nggak usah ikut kayak orang-orang yang sering bilang hanya jahat di mulut bukan di hati. Tapi kalau lo sendiri punya agama, lo seharusnya tahu setiap kata yang keluar dari mulut itu berasal dari hati!!! Jadi nggak perlu yang namanya ceramahin gue!!!"

Tubuh Wahid mengkerut di tempat. Jujur saja dia ketakutan melihat kemarahan Agam yang berhasil dia pancing hanya karena masalah agama. Biasanya Agam adalah sosok laki-laki paling tenang dalam menanggapi masalah. Namun tidak untuk masalah agamanya.

"Lo sih. Kulit doang mulus, tapi mulut lo bergerigi. Mendingan gue, kelihatan nggak baik tapi gue puitis banget orangnya," sahut Barra berusaha mencairkan suasana setelah Agam masuk ke dalam kamarnya.

"Alah, puisi mulu yang lo bahas. Lo mau tahu nggak apa yang lebih puitis dari puisi lo itu? Gesekan kedua kaki gue dibalik sarung yang bakalan gue basuh pakai air wudhu sebelum sholat jum'at di masjid!!!" tutup Wahid setengah kesal.

Selalu saja akhirnya seperti ini bila dia membawa topik agama dalam percakapan dengan kedua sahabatnya.

***
Continue..
Hahaaa..
Belom.. Belom kena kerayu sama wahid.. Hahaha.. Kudu sabar.

Membasuh kotoran di kulit, memang yang terbaik diusap dengan cara perlahan-lahan. Sehingga tidak melukai kulit itu sendiri.

BALAPANWhere stories live. Discover now