Karena dia berlatih saat jam pengajaran berlangsung, jadilah dia sendirian di sana. Kecuali Cambyses yang mengamati sesekali—seperti kali ini. Laki-laki itu tengah berteduh di menara lonceng sementara hujan deras di luar. Silvana masih menembakkan panah, tidak peduli sekujur tubuhnya basah kuyup.

Suasana hati Silvana bisa diketahui dengan mudah. Cambyses bisa langsung mengartikannya lewat cuaca yang menaungi Gihon kini.

Gadis itu murung. Sudah tiga hari dia tidak bisa menemui Var. Kia hanya memberitahu jika Var tidak keluar asrama, kecuali untuk berlatih di sasana. Sia-sia saja kalau Silvana bersikeras menunggunya di Riget.

Panah dilontarkan lagi. Kali ini Silvana berhasil mengenai target. Tidak ada senyum senang terlepas dari kenyataan dia telah mengalami kemajuan. Napasnya sesak, efek dari rasa lelah juga karena berada di tengah deru hujan yang mengucur deras. Tangannya beringsut sambil menggenggam busurnya erat.

"Kau akan sakit kalau terus-terusan diam di situ." Suara seseorang laki-laki mengundang Silvana untuk menoleh. Tidak jauh darinya, seorang laki-laki berkulit pucat dalam balutan jubah tebal yang hangat tersenyum sambil menopang dagu. "Istirahatlah sebentar. Aku bisa membuatkanmu teh krisan."

Silvana belum mengiyakan atau menolak. Tahu-tahu dia telah terlanjur membuntuti laki-laki itu masuk ke ruang tata boga yang kosong. Di sana, Silvana dipinjami jubah kering yang hangat dan handuk. Laki-laki itu tetap diam saat mengambil air mendidih dekat perapian lalu menyeduhkan krisan kering untuk Silvana.

Ragu-ragu, tangan dingin Silvana menangkup cangkirnya yang panas.

"Apa kau salah satu peserta turnamen?" tanya laki-laki itu. Silvana menatapnya lama. "Ah, maafkan. Aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Derian."

Kenapa seorang siswa tidak mengenakan seragam padahal ini masih jam pengajaran?

"Aku bukan siswa," katanya lagi seolah mampu membaca pikiran Silvana. "Aku mengajar di sini."

Silvana bertingkah kikuk. Langsung saja dia menunduk sebagai pengganti salam yang tertunda pada laki-laki itu. Ah, dia terlihat begitu muda untuk disematkan panggilan guru. Umurnya mungkin di tengah rentang dua puluh lima sampai tiga puluh tahunan? Garis wajahnya menarik. Tapi hal itu tidak serta merta membuat Silvana ingin mengatakan sesuatu padanya.

Paham jika Silvana begitu canggung padanya, Derian pun tidak memaksa gadis itu bicara.

"Kalau suasana hatimu tidak sedang baik, kau bisa datang ke sini besok. Para siswa angkatan dua akan membuat kue kering. Kau bisa memberi kue buatanmu pada seseorang."

Silvana membuat kue kering? Seperti yang biasa dibuat para dayang manor untuknya ketika sore hari? Kue kering dengan bentuk yang lucu. Sewaktu dirinya dan Sira masih menyatu, dulu dia beberapa kali mencuri bahan dari ruang tata boga Emerald. Bahan-bahan itulah yang kemudian dimasaknya sesuai kesukaan lidahnya. Karena Silvana hampir tidak pernah memasak dan ingatan milik Quon pun telah pudar, hal itu sama sekali tidak terpikirkan.

Melihat binar mata Silvana yang berkilat, Derian tersenyum tipis. Gadis itu mengerjap kala Derian memundurkan kursinya lalu bangkit berdiri.

"Nikmati saja tehmu. Murid-muridku sudah menunggu."

Baru saja Silvana menyusulnya dengan bangkit berdiri dan menoleh, laki-laki itu berucap lagi ditambah senyum yang mampu membuat siapa pun bertanya-tanya.

"Sama-sama."

***

"Satu dua tiga! Satu dua tiga! Berikan bukti padaku kalau kalian mampu!" Seorang pria paruh baya menyemangati siswa-siswa didikannya yang tengah berlari mengitari lapangan. Dia bertepuk tangan sesuai hitungan. Aba-aba yang dilontarkannya cukup keras, bahkan akan terdengar sampai ke sudut terjauh gedung Ruby.

Silver Maiden [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang