15.

16.2K 1.2K 47
                                    

---

Anna mengerjapkan matanya disertai rasa pening di kepala. Sedetik kemudian, gadis itu ingat bahwa kepalanya baru saja—beberapa waktu lalu—terhantam bola basket. Ia mengangkat tubuhnya mecoba bangkit sambil memegangi kepala peningnya itu.

Dahinya berkerut ketika tahu dimana dirinya berada sekarang. Ruang kesehatan. Dan Anna sendiri.

Ini salah satu dari tujuan dari rencana gagalnya tadi. Anna bermaksud untuk pura-pura pingsan agar di bawa ke ruang kesayangan Alana itu, demi mendapatkan privasi dengan Kepala Sekolah Charters itu. Mengorek informasi tentang Laura, tentunya.

Derit pintu menyetakkannya dan membuat Anna menoleh. Alana di sana. Lengkap dengan peralatan obat-obatannya. Menghampiri Anna yang terbaring sambil menumpukan tubuh pada kepala ranjang.

Melihat Alana membuatnya kembali mengingat tentang mimpi. Terlebih mimpinya bersama Alana yang bisa dikategorikan mimpi buruk.

“Kau sudah bangun?” Anna mengangguk sebagai jawaban. Entah bagaimana, gadis itu belum cukup tahu harus memulai pembicaraan.

Dan Alana, kini wanita itu sudah duduk di pinggir ranjang yang ditiduri Anna. Alana mengambil segelas air putih dan  satu pil obat tanpa merek dari cawan kecil di atas meja sebelah ranjang. Lalu menyodorkannya pada Anna.

“Minum ini. Aku tahu kepalamu sakit.” Perintahnya dan Anna mengangguk menurut dan balik menerima obat itu dari tangan Alana. Ia memasukkan pil tersebut ke dalam mulutnya sebelum akhirnya menegak habis air di tangan sebelahnya.

Alana bangkit dan menghampiri estalase berisi obat-obat koleksinya. Membenahi sambil bersiul-siul ria. Sarat akan bahagia.

Sementara Anna masih di ranjangnya. Menatapi gelas kosong di tangannya sementara otaknya berputar mencari-cari cara untuk memulai percakapan.

“Kau bisa istirahat di sini sampai jam makan malam, kalau kau mau.” Ucap Alana. Tiba-tiba, bahkan dengan baiknya—meskipun dengan tegas suara yang ia gunakan—mau menwarkan Anna beristirahat tanpa mengikuti pelajaran, meskipun memang sebentar lagi jam makan malam akan tiba.

Bahkan Anna hampir tak percaya kalau memang Alana yang membunuh Laura. Bagaimana mungkin wanita sebaik itu membunuh anak tirinya?

Tapi mungkin saja bila beralasan. Beralasan pada harta keluarga yang ingin ia kuasai, beralasan tentang obsesinya pada John Charters, beralasan pada Laura yang telah megetahui segala rencananya? Tentang apa yang telah ia lakukan pada mendiang ibunda Laura dulu? Semua ada alasan, dan semua punya kaitan. Terlebih mimpi-mimpi yang sering hinggap pada malam Anna.

Setidaknya itu petunjuk dari mimpi-mimpinya.

Matanya berkeliling dan menemukan lagi foto keluarga Charters. Alana, John, dan Laura yang kini entah dimana—meskipun Anna berpikir bahwa gadis itu telah mati. Terpikir untuknya membuka percakapan.

“Kau kenal… Laura?” terdengar aneh, mungkin. Menanyakan hal yang jelas-jelas sudah diketahui jawabannya. Mana mungkin Alana tak mengenal anak tirinya sendiri?

Alana mengernyit sebelum akhirnya menolehkan kepala pada gadis pirang diranjang ruangannya itu. Ia mengulum senyum sekilas sebelum menjawab, “Tentu saja. Aku sangat sayang padanya,” jawabnya, dan kini melangkah menghampiri figure keluarganya di dinding. Terlebih pada gambar Laura yang tercetak jelas. Dan matanya melirik-lirik pada Anna yang ternyata mengawasinya. Tersenyum miring sekilas sebelum menampakkan wajah muram. “Tapi, aku tak tahu sekarang gadis kecilku itu dimana…”

I'm Laura [Charters School]Where stories live. Discover now