12 √

119 17 3
                                    

Author's POV

Setelah Perry berhasil bernegosiasi dengan atasannya di pabrik senjata, ia akhirnya bisa bernapas sedikit lebih lega. Mengingat jam kerjanya di pusat data adalah pagi, dia berhasil merayu atasannya di pabrik senjata agar memperkerjakan mereka pada malam hari.

Di sore hari, sepulang mereka dari pabrik senjata, guruh mulai terdengar memecahkan telinga. Hudson menginstruksikan kepada kawan-kawannya agar mereka segera mencari tempat untuk menginap. Karena semenjak kedatangannya ke dunia Lavanya, mereka tak pernah diberi apa pun untuk bertahan hidup. Hal itu membuat mereka ingin selalu memberontak untuk kabur secepat-cepatnya.

Setibanya mereka bertiga di kediaman para warga, mereka berhenti sejenak untuk berteduh di bawah pohon tinggi dengan daun yang lebat. Ketiganya mulai merasa kedinginan dan menggigil. Tak dapat dipungkiri bahwa hujan pertama yang mereka alami di dunia Lavanya benar-benar sangat menyiksanya.

"Apa sebaiknya kita menumpang terlebih dahulu di salah satu rumah warga?" Perry mengalihkan pandangannya pada Jack dan Hudson yang berada di samping kiri-kananya.

Jack yang berada di samping kanan Perry mulai melihat Perry dengan ujung matanya, ia merasa khawatir akan keadaan gadis itu yang kini tengah menggigil parah.

Saat ketiganya mulai berpikir di manakah tempat yang paling baik untuk mereka tumpangi, seorang anak muda berumuran sekitar 13 tahun dengan payung hitamnya menghampiri mereka bertiga di bawah pohon. Anak lelaki itu berdiri tepat di depan mereka bertiga dengan menundukkan kepalanya yang tertutup tudung jas hujan yang sama-sama berwarna hitam.

"Mengapa kalian diam di luar saat hujan besar? Apa kalian tak tahu apa akibatnya terlalu lama terguyur hujan di dunia ini?" Bocah laki-laki itu tetap menundukkan kepalanya, sehingga mereka bertiga tidak dapat melihat wajahnya yang misterius.

"Memang mengapa?" Hudson bertanya, namun terlihat tak terlalu peduli dengan perkataan bocah itu.

"Apa kau tak merasakannya? Suhu airnya sangat dingin. Dan semua warga disini tahu bahwa air hujan di sini sedikit asam. Walaupun sedikit, tapi kalau kalian terguyur terlalu lama, kulit kalian sedikit demi sedikit bisa melepuh." Penjelasannya membuat mereka bertiga terperanjak kaget.

"Kami tak memiliki apa pun di dunia ini. Tak memiliki tempat berteduh atau bahkan rumah, kami hanya sebatas gelandangan yang tak punya tujuan di dunia yang memuakkan ini!" Perry sedikit emosi saat menjawab bocah itu. Terlihat matanya yang mulai menajam dan rahangnya yang mengeras.

"Aku tahu."

"Jadi, apa kau membawa tawaran untuk kami?" Jack berkata dengan sedikit sinis.

"Ikutlah denganku. Aku hidup sebatang kara. Setidaknya kehadiran kalian bisa membuat rumah besar peninggalan orangtuaku sedikit lebih bermanfaat." Bocah lelaki itu berkata dengan sombongnya sambil memutar tubuhnya. Ia berjalan menjauhi mereka bertiga, berharap ketiganya akan mengikuti di belakangnya.

Mereka bertiga berdiskusi untuk menentukan keputusan, apakah mereka akan menumpang di rumah bocah itu atau tidak. Jack sedikit enggan untuk mengikuti bocah itu mengingat perkataannya yang sangat sombong. Namun, mereka juga tak ingin berlama-lama di bawah guyuran hujan karena mereka memercayai perkataan bocah itu mengenai hujan di dunia Lavanya. Mereka bertiga pun mengikuti bocah lelaki yang sangat misterius dan sombong itu. Jack mengesampingkan egonya yang tidak ingin ikut, walaupun terpaksa, namun pada akhirnya ia tetap berjalan mengikuti bocah itu.

***

Pelatihan hari pertama di desa yang berisi kaum Phises pun selesai. Walaupun pada awalnya mengalami beberapa masalah kecil, namun semua masalah itu bisa diatasi dengan bijaksana. Pada awalnya, banyak warga yang jatuh sakit dan juga pingsan di tengah proses pelatihan, namun semua itu telah dimaklumi, mengingat bahwa sebagian dari mereka tidak memiliki basic dalam bela diri dan juga kemiliteran.

Elena tampak sedang bermain-main dengan panahnya di tengah-tengah lapangan tempat pelatihan yang sudah kosong. Walaupun langit sudah gelap, namun matanya tetap jeli untuk memanah sasaran yang ia inginkan. Setelah merasa lelah, ia meletakkan panah itu di bawah kakinya. Ia terduduk di atas rumput hijau yang kini sudah basah karena embun malam. Ia menenggelamkan kepalanya di antara kedua kakinya yang ditekuk, lalu melingkarkan tangannya untuk memeluk tubuhnya sendiri.

Alex yang sedari tadi mencari-cari keberadaan Elena, akhirnya menemukan kekasihnya itu yang kini terlihat kelelahan. Ia berjalan perlahan agar keberadaanya tak akan diketahui Elena. Setelah cukup dekat dengan Elena, ia menarik tubuh Elena ke dalam pelukannya. Ia merengkuh tubuh gadisnya itu dari belakang. Walaupun tak sempat menolehkan kepalanya ke belakang, namun Elena mengetahui bahwa orang yang tengah memeluknya adalah Al.

Al menenggelamkan kepalanya di bahu Elena. Ia menghadapkan kepalanya pada wajah Elena yang kini sudah menyembul keluar. Elena merasakan hembusan napas Alex yang menggelitik lehernya yang lenjang.

Elena menghadapkan kepalanya untuk menatap wajah Al yang masih berada di pundaknya. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Al, lalu mengecup bibirnya sekilas.

"Aku mencintaimu." Bisik Elena di telinga kekasihnya itu.

"Aku mencintaimu." Al mengucapkan hal yang sama.

Semburat merah mulai terlihat di wajah Elena, membuat Al semakin gemas akan dirinya. Ia pun mengangkat kepalanya untuk mencium pipi Elena.

"Ayo kita pulang." Alex berdiri, lalu menarik tangan Elena untuk membantunya berdiri.

Mereka berjalan bersamaan dengan bergandengan tangan. Saat mereka sudah sampai di depan rumah, perhatian Al mulai teralih pada cahaya yang keluar dari tempat di dekat sungai. Ia sadar bahwa portal itu muncul kembali. Ia menarik tangan Elena yang hendak membuka pintu rumah mereka. Alex ingin pergi menuju portal itu bersama Elena.

Alex dan Elena tercengang melihat portal yang terlihat lebih besar berkai-kali lipat dari yang pertama kali mereka lihat. Portal itu terlihat sangat menakjubkan untuk saat ini. Di sana, Jacob sedang tersenyum licik ke arah mereka.

 Di sana, Jacob sedang tersenyum licik ke arah mereka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Selamat datang kembali." Jacob menyunggingkan senyumannya ke arah El dan Al yang kini berdiri di depannya.

"Kembalikan teman-teman kami!" Al mulai naik pitam.

"Oh, tidak-tidak. Tidak akan. Aku tak ingin menghancurkan kebahagiaan mereka!" Jacob tersenyum licik.

"Omong kosong!"

"Bila kau tak memercayainya, kau bisa membuktikannya sendiri dengan bergabung dengan kami!"

"Bedebah!" Al berteriak, menunjukkan urat-urat lehernya yang mengencang.

Batin Elena bergejolak, bertanya-tanya dalam hatinya. Sebenarnya, tujuan mereka mengajak kami untuk apa? Tak mungkin bila mereka hanya memberikan kepuasan tanpa meminta imbalan. Lalu, mengapa harus kaum kami yang didatangi? Apakah memang hanya kami yang tersisa di bumi ini, atau karena mereka memang benar-benar menginginkan kami?

T. B. C

SecondWhere stories live. Discover now