13. THAT DAY

Mulai dari awal
                                    

"..." Seketika Ranice mulai menangis. Juro benar, dia sangat egois. Dia tidak memikirkan ayahnya yang akan sangat terpukul jika dia sampai memilih mengakhiri hidupnya. Tubuh Ranice berguncang menahan tangis.

Juro memeluknya erat. "Rae ... Kalo lo nggak bisa lanjutin semua ini, masih ada gue. Gue bakal selalu dampingin lo, Rae. Kalo lo mau, gue bahkan siap nikah sama lo."

"Nggak, J ... Nggak! Nggak boleh! Kamu nggak boleh ngorbanin hidup kamu." Ranice semakin menangis dalam pelukan Juro.

"Rae, kalo lo tetap milih lanjut, lo harus inget satu hal. Kapan pun lo ngerasa capek, gue bisa jadi tempat lo buat pulang. Atau kalo lo tetap bisa bertahan sampai akhir, masih ada gue yang bakal jaga lo setelah perjanjian kalian selesai. Kalo lo minta gue buat nunggu lo, gue bakal nunggu lo. Gue nggak masalah-" Perkataan Juro terputus ketika tubuhnya ditarik ke belakang oleh seseorang.

"Jangan coba-coba mempengaruhi Ranice supaya membatalkan pernikahannya dengan saya." Leander memperingatkan Juro. Entah bagaimana caranya Leander berhasil masuk ke dalam kamar Ranice, tapi yang pasti bukan lewat jendela seperti yang Juro lakukan.

"Ini semua gara-gara lo, Brengsek!" desis Juro tajam.

Ranice begitu terkejut melihat Leander ada di dalam kamarnya, dan lebih terkejut lagi ketika menyadari kedua pria itu sudah berdiri berhadapan dengan posisi saling mengancam. Kedua tangan mereka saling menarik kerah pakaian masing-masing. Siap menyerang jika salah satu menyerang lebih dahulu.

Untunglah segerombolan orang lainnya yang memang sejak tadi menunggu gelisah di depan kamar Ranice segera masuk, sehingga tidak sampai terjadi perkelahian di antara kedua pria itu. Elle segera berlari dan memeluk Ranice, sementara Anton segera menarik Juro menjauh dari Leander.

"Semuanya, boleh tolong tinggalkan kami berdua? Saya perlu bicara dengan Ranice." Leander berbicara dengan suara rendah menahan emosinya. Setelah semua orang pergi Leander mendekat dan duduk berhadapan dengan Ranice.

"Rae ... Kamu mau membatalkan pernikahan ini?" tanya Leander cemas.

Ranice menunduk dan menggeleng. "Aku nggak mungkin mengambil resiko mempermalukan Ayah untuk kedua kalinya dengan batal menikah lagi."

"Karena itu kamu memilih mengakhiri semuanya dengan cara kamu sendiri?" Leander menatap ngeri botol obat dan pecahan kaca yang sudah diamankan oleh Juro tadi. Terima kasih untuk Juro. Meski Leander tidak suka dengan sikapnya yang jelas-jelas terlihat menunjukkan permusuhan, tapi kalau Juro tidak bergerak cepat tadi, mungkin Ranice sudah melaksanakan rencana nekatnya itu.

"Aku sendiri nggak sadar bisa mikir kayak tadi tadi." Ranice menyesali niatnya sendiri.

"Rae, ada apa sebenarnya?" Suara Leander kini mulai terdengar tenang.

"Aku sendiri nggak tahu kenapa, Lee. Aku, takut ...," ujar gadis itu dengan suara bergetar.

"Jangan takut, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada aku di sini." Entah bagaimana suara Leander terdengar lembut hari itu. Untuk sesaat Ranice merasa Leander kembali bersikap seperti dulu, sebelum ada perjanjian di antara mereka.

"..." Ranice hanya menggeleng sambil menangis.

"Shh! Apa yang buat kamu takut, Rae?" Leander menggenggam tangan kiri Ranice, sementara tangan kanannya mengusap lembut pipi gadis itu. Menghapus jejak air mata yang tertinggal di sana.

"Aku takut nggak sanggup menjalani lima tahun ke depan, Lee. Rasanya terlalu berat." Suaranya terdengar lirih, dan itu menggelitik hati Leander.

Leander tahu sikapnya pada Ranice akhir-akhir membuat gadis itu merasa semakin tertekan. Leander sendiri sebenarnya bingung menghadapi semua ini. Banyak hal yang dipikirkannya, banyak hal yang meresahkan hatinya. Namun Leander berusaha untuk terlihat tidak peduli.

Artificial WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang