“Mereka kan udah gak pacaran, Tere sayang”, desah Kevin begitu Teresa cerita soal Theo dan Cathylin yang mesra-mesraan di tepi pantai tadi sambil berjalan di trotoar.
“Mau pacaran mau gak, sama aja!”, bantah Teresa.
Kevin menggaruk belakang kepalanya, bingung mau ngomong apa lagi. Teresa emang kalo sekali gak suka sama orang, ya udah seterusnya dia males berurusan sama orang itu.
“Abang tau gak sih yang waktu kontes model tahun lalu,  dia tuh matahin hak sepatu aku, sengaja bikin aku jatuh biar kalah. Bikin malu aja!”.
“Bukan dia kali. Mungkin hak sepatu kamu aja yang udah mau patah”, jawab Kevin menenangkan.
Teresa menggeram. Ternyata dia salah pilih partner jalan. Harusnya tadi dia ngajak Olin, kalo gak ajak Arsen aja. Seenggaknya Arsen lebih bisa bikin Teresa tenang daripada si bule legok ini.
***

“Kayanya ade kamu masih gak suka sama aku”, ujar Cathylin muram. Mereka sedang duduk berdua di beranda cottage, menikmati sunset.
“Gak usah terlalu mikirin itu lah. Tere emang biasa gitu kok kalo udah niat banget jalan”, balas Theo. Theo tau pasti adiknya itu kesal karna dia ngajak Cathylin ke tempat mereka. Dia merasa bersalah, tapi kenapa Tere pergi gitu aja, ngajak Kevin lagi. Kenapa gak ngajak dia aja.
Waktu makan malem udah tiba tapi Teresa dan Kevin belum juga pulang. Theo khawatir. Dia gak berhenti-hentinya mondar-mandir di depan cottage, menunggu adiknya. Cathylin masih di cottage mereka, dia lagi bantuin Olin masak di dapur. Padahal Cathylin itu gak bisa masak, tapi dia bilang udah mulai belajar masak.
Udah puluhan kali Theo menelpon ponsel Teresa tapi cuma masuk ke mailbox. Whatsappnya gak ada yang di balas, malah belum juga di Read. Dia makin khawatir. Mana Kevin gak bawa HP lagi.
“Theo. Makan malem udah siap. Yuk!”, ajak Cathylin dari pintu cottage.
“Ya bentar”, jawab Theo singkat tanpa menoleh ke arah Cathylin.
Sampai lewat tengah malem Teresa dan Kevin belum juga balik. Theo berkeliling sekitar cottage bareng Arsen setelah mengantar Cathylin, kali aja mereka berdua ada di sekitar sini. Dave dan Olin juga mencari mereka ke tempat-tempat yang lebih jauh dari cottage. Tapi gak ada yang nemuin Teresa dan Kevin.
“Nomornya gak bisa dihubungin”, desah Arsen yang ikut khawatir.
Dave dan Olin udah balik ke cottage lagi. Dave menyuruh Olin tidur duluan tapi Olin malah menolak dan bersikeras mau ikut nunggu Teresa. Sekarang mereka semua cuma bisa berkumpul di beranda cottage, menunggu. Dave duduk di sofa dengan Olin yang bersandar di bahunya, Arsen duduk di teras sambil merokok dan Theo berdiri menyandar di pohon palem yang terletak di depan cottage, tatapannya tertuju ke jalan berharap Teresa cepat kembali.
Dua jam kemudian apa yang mereka tunggu muncul juga. Teresa berjalan terhuyung menggandeng lengan Kevin yang sama gontainya. Mereka mabuk!.
Theo marah melihat itu. Dengan cepat dia menarik Teresa dari pelukan Kevin dan melayangkan tinjunya di wajah tirus Kevin. “Brengsek lo Vin!!”, maki Theo pada Kevin yang sekarang terduduk di stapak. Tanpa melawan.
“Apaan sih!”, teriak Teresa yang kaget melihat abangnya tiba-tiba mukul Kevin.
Arsen dan Dave membantu Kevin berdiri dan membawanya ke dalam. Olin membantu Kevin membersihkan lukanya. Ketika Arsen dan Dave hendak keluar dari cottage Kevin menahannya. “Biarin mereka berdua”.
Theo menatap Teresa tajam, “kenapa kamu pergi sampe selarut ini?!”, tanyanya marah. “Apa kamu gak tau, kamu itu udah bikin kita semua khawatir! Pulang dalam keadaan mabuk gini lagi”.
“Just for fun, dude”, jawab Teresa tenang sambil berlalu ke teras.
Tapi Theo menahannya. Mendengar jawaban asal adiknya, Theo makin emosi. “Apa karna Cathy?”.
Teresa tersenyum miris. “Aku cuma pengen hang out bang. Apa salahnya?”.
“Kenapa kamu gak ajak abang?”.
“Dan ganggu kalian? I choose ‘Never’!”, balas Teresa, kali ini ia menatap tepat ke manik mata abangnya. Menantangnya.
“Dia disini karna ada kerjaan, Re. Bukan karna abang”.
“Aku gak bilang abang yang nyuruh dia kesini”, kilah Teresa, datar. “Dan aku gak peduli soal dia”, tambahnya lagi lalu beranjak masuk. Berjalan menghampiri Kevin yang duduk di sofa dengan luka merah di bawah matanya, lalu memeluknya. “Sorry. But thanks”, bisiknya di telinga kanan Kevin, lirih. Lalu naik ke kamarnya tanpa bicara.
Theo yang melihat itu jadi makin emosi. Dia menyusul Teresa ke atas, dia benci harus ada di situasi seperti ini. Bertengkar dengan adiknya? Seumur hidupnya ia slalu berusaha menghindari hal ini. Tapi kenapa malam ini ia harus mengalaminya?.
Theo mendorong pintu kamar Teresa yang gak kekonci dan menemukan Teresa yang terlentang di kasurnya. Teresa memejamkan matanya, tapi Theo tau dia gak tidur.
“Re...”, panggilnya pelan sambil duduk di tepi ranjang. Teresa diam, gak menyahutnya. “Re, aku minta maaf”. Itulah yang selalu Theo lakukan ketika terjebak di situasi ini, mengalah demi hubungan baik mereka. Teresa tetap diam.
“Aku tau kamu gak tidur. Ayolah Re, aku bener-bener minta maaf”.
“Bisa tinggalin aku sendiri? Aku cape, pusing”, ujar Teresa masih tetap memejamkan matanya. Bukan buat pura-pura tidur tapi ia memejamkan matanya buat nahan air matanya. Dia bener-bener gak mau nangis.
Theo mendesah, tapi ia pasrah. Tanpa bicara lagi ia keluar meninggalkan Teresa yang enggan menatapnya. Mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya berusaha menetralkan seluruh emosinya ketika ia berdiri di depan pintu kamar adiknya. Lalu turun menghampiri Kevin yang sedang di kompres matanya pake es batu oleh Olin.
“Sorry Vin. Gue kebawa emosi”, ujarnya tulus menghampiri Kevin lalu duduk di sebelahnya.
“It’s okay”. Kevin menepuk bahu Theo pelan. Lalu dengan cepat melayangkan tinjunya ke pelipis Theo.
Theo tersungkur ke pojokan sofa akibat serangan cepat tak terduga Kevin. “Impas”, tegas Kevin tajam ke Theo.
Theo gak marah, justru dia tersenyum lalu menoyor Kevin sambil bercanda.
***

Jadwal liburan mereka yang rencananya bakal berakhir sore ini ternyata diundur jadi besok pagi. Ini usulan dari Dave. Semuanya setuju. Teresa juga setuju waktu Olin nyeritain ide Dave ini di pagi harinya. Toh dia gak ada jadwal syuting atau apapun juga tiga hari ke depan ini.
Udah jam sembilan pagi. Semuanya lagi pada di pantai, kecuali Theo. Ia masih setia nungguin Teresa turun dari kamarnya. Duduk di depan TV yang menyala sia-sia karna tatapan Theo Cuma terfokus ke tangga, berharap adiknya cepat turun.
Tadi waktu dia tanya ke Olin katanya Teresa belum bangun. Jadi dia memutuskan menunggu.
Sementara di kamar, Teresa baru aja bangun. Kepalanya pusing dan matanya merah, rambutnya acak-acakan. Bener-bener kacau. Ia baru bisa tidur pas subuh tadi. Itu juga karna obat tidur yang terpaksa ia minum. Biasanya ia paling anti sama obat tidur.
Teresa segera ke kamar mandi. Sambil berendam ia merencanakan kegiatannya untuk satu hari ini. Yang pasti kegiatannya itu harus jauh dari Theo. Ia masih males aja berurusan sama Theo. Mungkin emang berlebihan, tapi emang dia sebel aja.
Teresa segera turun begitu selesai mandi dan ganti baju. Tapi lagi-lagi ia harus dibuat kesal dengan kehadiran cewek ubur-ubur di ruang tengah mereka. Cathylin lagi asyik ngobrol sama Theo di sofa, saling berpandangan dan ngobrol akrab.
Teresa mengurungkan niatnya lalu berbalik kembali ke kamar. Ia meraih i-pot dan headphone-nya, membawanya ke ranjang. “Hhhhh... ini yang dibilang liburan?”, desahnya sambil memasangkan headphone ke atas kepalanya.
Pukul 12.00 siang semuanya kembali ke cottage buat makan siang. Makanan udah disiapin pihak resto cottage Arsen.
“Tere belum turun?”, tanya Arsen pada Theo yang duduk sila di sofa, murung.
Theo menggeleng sebagai jawaban. Semuanya memandangnya prihatin.
“Biar aku cek ke atas”, sahut Olin lalu beranjak naik ke tangga.
“Udah gue bilang kan, dia itu alergi sama ubur-ubur. Eh elo-nya masih aja mancing tuh ubur-ubur”, celetuk Kevin sambil berlalu.
Ubur-ubur yang Kevin maksud adalah Cathylin. Theo juga udah tau soal julukan yang Teresa dan Kevin kasih ke mantan pacarnya itu. Tapi Theo gak pernah menganggapnya serius.
Theo menatap dua sahabatnya bergantian, tapi dua-duanya cuma mengangkat bahunya acuh.
Berkat bujukan Olin akhirnya Teresa mau turun juga. Tadi dia sempet ketiduran waktu dengerin lagu di kamar, tepat di lagu Lonely Lullaby dari Owl City dia terbang ke alam mimpinya.
Teresa turun dengan oblong putih kebesaran dan celana selututnya, juga dengan headphone yang masih terpasang menutupi telinganya. Dia males ngobrol, dengan siapapun.
Theo hendak menghampiri adiknya, tapi Olin menahannya. Menggelengkan kepalanya menegurnya dengan tatapan ‘jangan sekarang’. Akhirnya Theo berjalan mengambil tempat duduk terjauh dari adiknya di meja makan. Teresa juga sama sekali gak menatapnya.
Ini benar-benar mengganggu!.
***

(NOT) Brother ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang