I got only good intentions, so give me your attention

3.3K 385 41
                                    

"Lo ninggalin adik gue pas dia berdarah-darah di Dufan dan gak nelfon siapapun dari kita ataupun petugas?"

Jillia menyentak tangan Argo dengan cukup keras ketika pria itu berhasil mencengkram pergelangan tangannya. "Kenapa gue harus peduli bantuin dia?"

"Dia suami lo, ya..." Argo menghela nafasnya dengan kasar. Melepaskan tangan perempuan itu begitu saja dan menggelengkan kepalanya.

"Ck, suami. Such a waste. Suami tapi dia cuma belajar cara cinta gue..."

"Oh My..." Argo hanya tersenyum dengan datar, "Dia bego, lo keras kepala. Keren..."

Jillia sebenarnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran Argo. Jadi sebisa mungkin dia mengatakan hal yang sangat sedikit agar pria itu segera menjauhinya mengingat sepertinya Argo berusaha menggali ingatannya. "Kalo lo masih mau bahas adik lo itu mending lo pergi..."

"Seenggaknya itu anak bego mau belajar berusaha ngedapetin lo dibanding lo yang gak mau nerima dia..." Argo duduk dengan tenang di sofa, menarik tangan Jillia kemudian memaksa perempuan itu juga duduk di sebelahnya, "Atau..."

"Atau...?" Jillia melirik dengan bertanya. Argo sudah menyeringai kepadanya. Aneh, kenapa akhir-akhir ini semakin banyak orang menyeringai kepadanya. "Lo kenapa?"

"Lo mau bales Bram lebih sakit lagi?"

"Iyalah..." Jillia menjauhkan sedikit tubuhnya dari Argo yang sudah tertawa. "Lo gak tau aja rasanya jadi gue yang ngejer-ngejer dia bertahun-tahun diperalat begitu sama dia dan ujungnya apa?"

Argo menganggukkan kepalanya setuju. "Anyway, adik gue masuk rumah sakit lagi..."

Sebentar. Jillia merasa aneh kepada Argo yang sedari tadi menyebutkan kalau Bram adalah adiknya. Biasanya pria itu hanya akan menyebut 'adik' sebanyak tiga kali karena tahu Jillia tidak menyukainya.

...

"Ckckck. Punya bini sadis amat" Malik menggelengkan kepalanya.

Tiga jam yang lalu, Bram menelfonnya dan meminta Malik datang ke rumah sakit. Mengurus dirinya tentu saja. Bukannya tidak mau menelfon Edgar atau ibunya, hanya saja, Bram merasa tidak perlu bantuan mereka karena mereka semua berkhianat kepadanya membantu Jillia. Bukannya membantu Bram memperbaiki pernikahannya, malah membantu menantu mereka kabur begitu saja.

"Bunga sampe berjejer dah kayak lagu sabang sampe merauke, masih dia bisa lebih sadis juga?" Malik menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak, "Dosa lo banyak banget, ya?"

"Ya. Dia marah karena pernah keguguran dan gue gak bilang kalo dia pernah keguguran. Padahal waktu itu dia pengen banget punya anak..."

"Oh, pantes..." Malik setuju. Dia menganggukkan kepalanya dengan mantap. "Gue jadi bini lo, gue tabokin lo Bra. Gue injek. Gue santet. Kalo bisa gue kebiri atau fasektomi biar gak jantan lagi..."

Bram mengedikkan dagunya, "Lo sahabat gue bukan?"

"Kalo lo masih brengsek..." Malik menganggukkan kepalanya, "Iya kita masih sahabatan..."

Bram memainkan ponselnya. Mencoba mencari kontak Jillia dan mendapatkannya. Sayang sekali ketika dia melakukan panggilan nomornya di blokir begitu saja. "Ck. Kalila... Mau gimana lagi caranya bales dendam sama gue..."

"Bra..."

Bram menoleh kepada sahabatnya yang bertampang timur tengah itu. Laki-laki itu tampaknya prihatin dengan nasih dirinya, "Diem lo onta"

"Bukan. Gue heran sama lo yang kenapa gak jujur kalo bini lo pernah keguguran... Itu, crusial banget loh. Bisa dikira gak cinta..."

"Emang dari awal gue gak cinta..."

Malik menganga di tempatnya. "Terus kenapa lo ngejer-ngejer dong?"

Bram menunduk memegangi perutnya. Dia menghela nafas cukup lama sampai akhirnya Malik berdehem untuk menegurnya, Bram hanya menarik nafasnya pasrah, "Ya gitu. Ternyata balik ngejer orang itu capek, Lik. Lo jangan ikut-ikutan..."

Malik mengedikkan dagunya, "Sorry, Bra. Yang bego kan lo doang"

...

"Lo aneh..."

"Gue sama lo emang selalu aneh, kan?"

Jillia mengulum bibirnya.

"Kenapa lo ngindarin gue, Ji?"

Jillia balas menatap mata Argo dan menelan ludahnya. "Karena lo kakaknya Bram..."

Argo menganggukkan kepalanya dan menunduk memainkan ujung dasinya. Dia melirik sekilas dan mendapati perempuan itu menatapnya. "Papa tanya ada apa sama kita waktu kecelakaan itu..."

Jillia menoleh dengan tajam. Dia penasaran dengan apa yang akan Argo katakan kepadanya

"Lo gak mau ceritain kita kenapa?" Argo memandang dengan kebingungan dan menuntut penjelasan disaat bersamaan

"Jangan bikin gue makin males sama lo, Go..." Jillia menjauhkan dirinya. Dia hanya tidak mau membahas semua masa lalu mengerikan itu bersama salah satu tersangka yang jelas-jelas membuatnya kehilangan harga diri sebagai seorang istri dan kepercayaan diri untuk menjadi seorang ibu

Argo menganggukkan kepalanya kemudian menghela nafas dengan cukup panjang. "Kayaknya itu nyakitin banget buat lo. Gue minta maaf kalo gitu..."

"Maaf kenapa?" Tanya Jillia kebingungan, Argo hilang ingatan dan masih sempat minta maaf. Lucu sekali, dia ingin menjambak rambutnya sendiri sekarang

Pria itu kembali menatapnya dengan tajam di manik matanya. Dan menahan lengan Jillia dengan cukup kuat, "Maaf karena terlambat inget semuanya, Jilli..."

Bibir Jillia terbuka. Dia menyipit meneliti perubahan raut wajah Argo yang semakin datar dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, "Lo inget?"

Argo menganggukan kepalanya beberapa kali dan menatap sekeliling apartement Jillia. "Kita bisa reka ulang adegannya kalo lo mau..."

"Go..." lirih Jillia dengan takut-takut, mencoba melepaskan diri dari pria yang sudah menatapnya dengan satu alis terangkat

"Lo mau pisah dari Abra, kan?" Argo mengeraskan pegangannya pada pergelangan tangan Jillia. "I can help..." lalu pria itu menyeringai kepadanya

I G E NWhere stories live. Discover now