Busur hitam yang telah dipoles menjadi amat mengilap. Melihatnya saja, Kia tahu jika busur itu lebih berat dari busur pada umumnya. Lengkung serta ukirannya indah sekali. Tidak mengherankan jika penjualnya mematok harga yang sangat mahal.

"Kau mencari busur, Nona?" tanya pria paruh baya yang juga pemilik toko tersebut.

"Berapa ini?" Silvana menunjuk busur elegan tadi.

Si Penjual menyebutkan angka nominal yang langsung membuat Fiona bengong seketika. Kia yang biasanya tidak menampakkan ekspresi berarti pun kali ini mengangkat alis. Keduanya kompak mengerjap sewaktu Silvana menatap mereka lagi secara bergantian.

"Aku tidak bawa uang..," ucap gadis itu sedih—tentunya dengan memasang wajah yang sedikit memelas.

Oh, astaga..

"Bisakah kalian membelinya dulu untukku?"

Hening.

Fiona sempat berusaha mengubah pikiran Silvana dengan menunjukkan busur-busur biasa. Busur yang besar dan berat sama sekali tidak cocok untuknya yang baru belajar memanah. Silvana memang tidak membantahnya, bahkan menanggapi jika kata-kata Fiona ada benarnya. Namun raut muka gadis itu benar-benar.. sedih.

Mengusap wajah frustasi, Fiona menarik Kia menyingkir sebentar.

"Jangan salah paham. Aku bisa membelikannya busur itu," katanya serius. "Tapi untuk sekarang, aku tidak membawa uang sebanyak itu. Bagaimana denganmu?" Pandangan Fiona mengikuti saat Kia merogoh kantung di dalam jubahnya.

Laki-laki itu punya berkeping-keping emas!

Fiona menganga.

"Bagaimana bisa kau membawa emas sebanyak itu?! Apa jangan-jangan kau menyelinap keluar Gihon setiap harinya dan mengikuti lelang gelap di Xerokh?"

Fiona hanya menceracau asal-asalan. Tentu prasangkanya tidak demikian. Sebagian siswa Gihon adalah bangsawan, meski tidak semuanya punya harta yang berlimpah. Bahkan jika keluarga Kia memang kaya raya, kenapa dia harus membawa kepingan emas sebanyak itu?

Menanggapi keterkejutan gadis itu, Kia hanya tersenyum.

Senyum yang baru kali ini Kia tunjukkan pada Fiona. Dan mendadak saja gadis itu lupa caranya bagaimana bernapas dengan benar.

***

Var menyilangkan tangan. Raut mukanya masih sama meski detik-detik berlalu. Alisnya bertaut dan tatapannya menyelidik. Sementara di hadapannya, Silvana tampak tidak peka dengan masih balas memandang laki-laki itu penuh harap.

Fiona tidak terkejut setelah berhasil mendapatkan busur tadi, Silvana berkata terus terang kalau akan mencari Var. Ide untuk naik ke atap berasal dari gadis itu sendiri—dengan bantuan Kia tentunya. Fiona sempat kelabakan karena dua orang itu menghilang dengan cepat. Saat akhirnya dia tidak sengaja melihat Var dan Rife, Fiona pun tidak perlu bersusah payah lagi mencari Silvana.

"Apa itu?" Var menggerakkan dagunya, mengarah ke busur yang Silvana pegang.

"Busur," jawab Silvana pendek.

Var tersenyum sinis. "Jika kau baru belajar memanah, busur itu adalah kesalahan fatal."

Fiona memalingkan wajah. Apa kubilang.

"Tidak apa-apa," kata Silvana di luar dugaan. Semuanya terdiam saat gadis itu menambahkan ucapannya. "Aku akan sangat tekun berlatih sampai bisa menggunakannya dengan benar. Aku bisa memajangnya di kamarku. Biar bagaimana pun aku menganggapnya sebagai hadiah setelah bersedia ditempa."

Apa maksudnya ditempa? Fiona bertanya-tanya dalam hati.

Var membalikkan badan dan masuk lagi ke tempat pandai besi. Bukan cuma Silvana, mereka pun mengernyit melihat laki-laki itu mengatakan sesuatu pada salah satu pria di sana. Selang beberapa saat kemudian, Var keluar membawa sebuah busur kayu lengkap dengan anak panah. Lebih ringan dan tampak biasa sekali.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now