"Sial! Akhh!"

Toneri mengejang hebat sambil mendesakkan bagian tubuhnya yang keras dan berdenyut-denyut, tak peduli dengan Hinata yang menjerit penuh rasa sakit karena tidak pernah berhenti memuaskan pria itu.

Hinata terus menangis, meminta maaf pada seseorang yang telah tiada. Bahwa dia menyesal telah mengabaikan dan tidak mendengar apa pun yang orang itu coba lakukan demi kebaikan dirinya.

"Ah ...." Toneri bergidik nikmat merasakan puncak perlakuan panasnya lalu membenahi diri sambil menikmati tubuh Hinata yang terkulai lemas di depannya. "Tidurlah. Besok kau harus menemani aku lagi. Aku berjanji akan membuatmu merasa hangat sepanjang hari, jadi jangan buang-buang air mata untuk menangisi apa yang telah terjadi.

"Ini keputusanmu. Ingat itu, Hinata."

Gadis itu mengalihkan pandangan pada gerakan tangan Toneri yang sedang membersihkan sesuatu yang selalu ingin Hinata patahkan menggunakan gigi setiap kali  Toneri memaksa miliknya masuk ke dalam mulut Hinata.

Memang benar jika ini adalah hasil dari keputusannya, tetapi sekali lagi, saat itu dia masih buta, tidak menyadari wajah yang tersembunyi di dalam topeng baik hati itu.

Hinata terseok ke ranjang, menarik tubuhnya yang terasa hancur, lalu menangis tanpa suara. Dia benar-benar tidak tahan dan ingin mati saja.

"Naruto ...."

Naruto, nama laki-laki yang tulus mencintai Hinata, satu-satunya yang gadis itu ingat tentangnya adalah bagaimana dirinya berteriak dan memakinya karena menuduh Toneri sebagai laki laki yang punya niat jahat.

Hinata memakinya habis-habisan dengan kata-kata yang tidak seharusnya hingga membuat Naruti menyerah dan membiarkan gadis itu tahu sendiri meski harus terjerembab ke dalam penyesalan tanpa akhir. Namun, apa yang membuat Hinata terhenyak adalah berita kemariannya karena dipukul oleh seseorang.

Tubuh Naruto memar di sana-sini, darah keluar dari hidung dan kepalanya. Mulut lelaki itu pun biru dan membeku karena saat itu musim dingin sedang berlangsung.

Kematian Naruto adalah awal dari kesengsaraan Hinata. Semua yang lelaki itu katakan menjadi terbukti dan Toneri benar-benar menjadikan Hinata sebagai teman seksnya. Waktu demi waktum hingga berakhir di tempat terkutuk ini, selama sepuluh tahun menjadi budak yang tinggal matinya saja.

"Kenapa aku masih hidup? Kenapa aku tidak mati saja?"

Hinata meringkuk kedinginan, melawan segala rasa berbentuk penyesalan yang setiap saat selalu datang ketika gadis itu melakukan apa pun. Bahkan bernapas pun membutnya menyesal.

Sering gadis itu bertanya-tanya, apakah saat dia terlahir kembali, dia akan berakhir seperti ini juga karena setiap kali Hinata berpikir dirinya dilahirkan kembali, bukan berarti dia akan menjadi sosok yang baru. Menjadi cantik atau jelek, kaya atau miskin. Hinata selalu berpikir jika kehidupannya akan sama berapa kalipun dia terlahir kembali.

Kecuali Hinata bisa berpikir dewasa dan mengambil keputusan walaupun itu adalah sesuatu yang tidak diinginkannya. Seperti, seharusnya dia mendengarkan Naruto bahwa pria yang diinginkannya adalah pria buruk dan dengan berat hati, dia akan meninggalkan Toneri.

Hinata penasaran, keputusan apa yang dia ambil sebelum menjalani kehidupan sekarang? Apakah dirinya berakhir menyesal seperti ini, atau tetap berakhir sengsara.

Gadis itu bertanya-tanya, apakah dirinya yang lain sekarang menjalani kehidupan yang sama di dunia mereka sendiri? Apakah Hinata bisa menyatukan dan menyelamatkan dirinya yang belum terjatuh pada kegelapan?

Seperti sebuah pohon yang punya cabang dan ranting, Hinata yang ingin mati berada di sudut antara cabang dan ranting, hidup di antara masa lalu dan masa depan. Mungkin dia tidak punya masa depan di kehidupan kali ini, tetapi mungkin saja masih ada Hinata lain yang bisa diselamatkan agar bisa menghadapi masa cepan yang jauh lebih baik.

Your FutureWhere stories live. Discover now