"Kita harus segera pergi," katanya. Lengan Var yang padat merengkuh Silvana lalu melompat keluar—tidak peduli ketinggian yang membentang di hadapan mereka.

Laki-laki itu masih tidak banyak bicara. Bahkan dia lebih banyak diam. Silvana tidak bisa menebak apakah ini karena Quon atau tidak. Yang pasti sekarang, Var menjadi lebih sulit diraih. Karang es sepertinya tidak akan mudah meleleh. Meski beberapa kali Silvana merasakan hembusan hangat Var saat bibir mereka menyatu, bisa berarti itu bukan apa-apa.

"Var," panggil Silvana lagi. Tapi laki-laki itu hanya diam. Tubuhnya membelakangi Silvana saat menyusuri rumah-rumah dengan penerangan redup lampion. Sekali dua kali, bahkan tiga kali Silvana memanggilnya, namun tidak mendapat respon. "Var! Var!" Akhirnya dia mencoba lagi—lebih keras.

Barulah laki-laki itu menoleh. Silvana lagi-lagi harus menelan ludah saat mata tajam itu menusuknya.

"Aku lapar," ucap Silvana pelan lalu merunduk.

Memutar bola mata, Var lalu menariknya ke sebuah kedai tidak jauh dari sana. Mereka duduk berhadapan. Var menopang dagu. Beberapa saat lalu Silvana menatapnya dalam ketika menyebut namanya berulang kali. Namun kini dia lebih sering memalingkan wajah. Apa memang sifatnya selalu berubah-ubah seperti ini?

Seorang pelayan menyajikan sepotong besar ayam panggang untuk Silvana, sementara Var merasa cukup dengan segelas bir—bukan bir yang diminum para pemabuk. Bir yang disajikan lebih mirip koktail, campuran perasan jeruk, jahe, molases dan sedikit rum. Minuman itu akan langsung menghangatkan tubuhnya.

"Kau tidak makan?" Silvana mengunyah seiris daging ayam lambat.

"Apa kau kabur dari rumah?" Bukannya menjawab, Var justru mengalihkan topik.

"Kalau aku kabur, semua prajurit Vighę akan berpencar untuk menemukanku," jawab Silvana. Gadis itu memutuskan tidak membiarkan Var makin bertanya-tanya. "Sekarang setelah kekuatanku tersegel, aku bisa ke mana pun yang aku mau. Tentu saja selalu ada orang yang akan mengawasiku."

Hening. Var melekatkan punggungnya pada sandaran kursi sambil menyilangkan tangan.

"Dan siapa pun itu, dia tidak merasa keberatan membiarkanmu bersamaku," simpulnya. Silvana pun terdiam canggung. "Apa kau tahu apa yang dikatakan orang-orang Vighę mengenai orang Kith? Apa ayahmu tidak mencoba menghalangimu bertemu denganku lagi?"

"Kau tidak perlu memikirkan apa yang mereka katakan soal dirimu. Setidaknya aku.. bukan orang seperti itu."

"Seperti apa? Curiga kalau-kalau aku terlibat dengan pembunuhan Pangeran Vighę—tunanganmu?"

Kenapa Var harus memancing luka Silvana? Lidah gadis itu mendadak kelu. Sungguh, dia ingin sekali membantah sindiran Var namun pada akhirnya dia hanya terdiam. Sikapnya yang blak-blakan mungkin sesuai dengan perangai Sira, namun bukan untuk Silvana. Bagaimana sebaiknya Silvana menanggapi tuduhan laki-laki itu.

"Tolong jangan.. menyudutkan aku," kata Silvana pelan. Dia lagi-lagi menunduk sambil meremas bawah jubahnya. "Aku tidak terlalu pintar menghadapi orang-orang. Hampir seumur hidupku sampai sekarang kuhabiskan dalam kurungan. Aku dibelenggu terus-terusan dan dijauhkan dari dunia luar.. Apa kau tahu itu sangat.. menyakitkan untukku?"

"Luka adalah tempaan," balas Var yang lantas mengundang Silvana lagi untuk menatapnya. "Kau tidak akan pernah bertambah kuat tanpa terluka. Dunia tidak menyesuaikan diri denganmu. Kau yang harus menyesuaikan diri dengan ini semua."

Silvana tersenyum sekilas—senyum keragu-raguan.

"Ke mana arah pembicaraan ini?" tanya gadis itu kaku.

"Aku membicarakan soal dirimu, juga semua hal yang menopang di belakangmu." Var menatap Silvana lekat. Nyaris tidak ada kelembutan di sana. "Mereka—orang-orang Vighę menyebutmu sebagai pelindung mereka. Keturunan raja terputus. Perdana Menteri Burö tidak diragukan lagi akan mendudukkanmu di atas tahta. Tapi kau.. masih belum mencoba keluar dari kurunganmu."

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now