*****


“Kita akan kemana?” tanya Raya ketika Genta menjemputnya ke kantor sore itu.
“Jalan-jalan,” ujar Genta kalem lalu membantu Raya memasang sabuk pengamannya.
“Kita kan sudah mengepas baju, melihat undangan, memilih cinderamata dan sebagainya. Apalagi?” tanya Raya heran.
“Melihat taman dan kolam ikan.”
Dahi Raya mengerut heran dan dia memandang Genta, tapi laki-laki malah sibuk bersiul-siul dengan gembira.
“Genta, kita mau kemana?” tanya Raya dengan wajah heran ketika mobil yang dikendarai Genta mulai menjauh dari kota dan keramaian.
“Menculikmu dan memenjarakanmu dalam hutan. Aku ini kan sebenarnya Robin Hood si pencuri dari hutan Sherwood.”
Raya cemberut dan menyadari bahwa mobil yang dikendarai Genta memasuki sebuah pemukiman yang eksklusif dengan lingkungan yang asri. Merupakan daerah hunian yang nyaman dan menyenangkan. Genta memutar kemudi dan memarkir mobil di depan sebuah rumah unik bernuansa alami yang kental.
“Cantik banget, Ta!” seru Raya gembira.
“Tentu saja,” Genta mengangguk menyetujui, “Rumah yang cantik untuk nyonya rumah yang cantik.”
Raya tertawa pelan, “Maksudnya?”
“Hadiah pernikahan untukmu, sayangku!”
“Hah?” mata Raya membelalak dibuat-buat, “Apa kita akan menikah?”
“Tentu saja kita akan menikah, jangan bilang kamu berubah pikiran,” Genta pura-pura marah dan dia kelihatan lucu sekali seperti itu.
“Kamu memanjakan aku,” sesaat wajah Raya terlihat sedih, tapi kemudian kemudian lenyap berganti binar kebahagiaan begitu dia memandang rumah itu.
“Kamu suka? Ada kolam ikannya lho.”
“Kamu gila, ya?” mata Raya membeliak sempurna, “Seumur hidup aku nggak pernah punya rumah dan tiba-tiba Santa Claus turun ke bumi berwujud kamu dan menghadiahi aku rumah dengan taman luas dan kolam ikan. Ini hadiah terbaik yang pernah aku dapat. Aku rasa, aku jatuh cinta dengan rumah ini,” gumam Raya.
Semoga suatu hari nanti kamu juga akan jatuh cinta dengan aku, pikir Genta bersemangat.
“Ayo, kita lihat rumah kita!”
Genta membuka pintu mobil diikuti Raya, lalu dengan bersemangat ia menarik tangan calon istrinya itu memasuki pekarangan rumah.
Genta tersenyum, “Ayo masuk!”
Taman rumah di buat bergaya Bali. Sungguh pemandangan yang indah dan Raya mengagumi selera Genta akan rumah ini. Genta membuka pintu rumah. Nuansa etnik begitu terasa ketika Raya memasuki rumah itu. Ruangan-ruangannya yang terbuka terlihat hangat dan romantis dalam temaram senja.
“Aku pernah melihat rumah seperti ini di majalah. Dan aku langsung jatuh cinta, tapi aku nggak pernah bermimpi akan tinggal di rumah seindah ini.”
Genta meraih tangan Raya dan membimbing menuju ruangan yang lain, “Ini ruang keluarga, Raya. Kata arsiteknya sebagian materialnya merupakan kondisi asli dan sangat antik.”
“Oh ya!” Raya mengangguk menyetujui. Sebagai seorang penata artistik, matanya sudah sangat terlatih untuk mengetahui kusen, pintu dan jendela yang terbuat dari balok-balok kayu jati utuh dalam warna dan kondisi asli. Begitu pula dengan batu bata dinding sampai permukaan batu kali pada lantai. Ini rumah yang nyaman dengan gaya arsitektur tropis yang mengagumkan.
“Ruang makan ada di sana dan dapur di sana!”
“Aku lebih suka makan di dapur,” sahut Raya sambil menyeberangi ruangan dan masuk ke dapur, “Tapi ruang makan bisa digunakan untuk menjamu teman-teman kita.”
Teman-teman kita. Manis sekali. Seolah-olah mereka benar-benar sudah terikat satu sama lain.
“Aduh, Genta!” seru Raya begitu membuka lemari gantungnya dan menemukan seperangkat cangkir teh, cangkir kopi juga cangkir khas Taiwan.
“Aku tau dari Dina kamu penggemar teh dan susu. Dan mungkin cangkir-cangkir itu akan menunjang hobi minum-minum ala kaum ningrat Inggrismu.”
Raya menutup lemari gantungnya dan berkeliling dapur dan mendapati dapurnya amat lengkap dan menyenangkan. Dan aku bisa menjadi ratu di dapur ini, putusnya bangga. Dia bisa membuat kue-kuenya, masakan-masakan eksotis seperti yang selama ini ia buat untuk Fatta. Dan tiba-tiba Raya tercenung. Kenapa aku memikirkannya?
“Raya kemarilah, aku akan menunjukkan yang lain padamu!”
Genta menggandeng Raya dari dapur, “Dan ini kamarmu!” Genta menunjuk pintu di hadapannya.
“Kamarku?” Raya menunjuk dadanya.
Genta mengangguk, “Bukalah pintunya.”
Raya membuka pintu dan aroma bunga yang wangi dan segar menerpa hidungnya. Ada selusin mawar merah di ranjang itu, selusin mawar putih, selusin mawar pink dan selusin mawar kuning. Kesemuanya tergeletak dengan manis dalam keranjang cantik berenda-renda.
“Oh.. cantiknya!” seru Raya kagum dan berlari menyeberangi ruangan lalu membungkuk di depan ranjang dan menciumi  mawar-mawar itu.
“Suka?” tanya Genta yang tiba-tiba sudah berada di belakang Raya.
Raya berbalik dan mendapati Genta begitu dekat dengannya, “Banget!” Raya mengangguk, “Ini hari yang indah, rumah yang cantik dan berapa lusin mawar, Ta?”
“Empat,” jawab Genta sambil tersenyum.
“Empat lusin mawar dan rumah?” Raya tertawa lepas, “Ini hadiah pernikahan yang indah.”
“Masih ada lagi , sayang.”
“Masih?” mata Raya terbelalak.
Genta tertawa lembut, “Bagaimana kalau aku bilang Mama dan Papa menghadiahi kita paket bulan madu ke Kampung Sampireun. Sebenarnya mereka ingin menghadiahi kita dengan paket bulan madu keluar negeri, tapi dengan kondisi kamu dan anak kita, kelihatannya kita tidak akan pergi jauh. Apa kamu suka? Apa tidak masalah? Bukan bulan madu mewah, tapi aku yakin kamu akan menyukainya. Sangat baik membawamu ke daerah berhawa sejuk, bayi kita pasti menyukainya.”
Mata sipit Raya membeliak lumayan lebar dan bagi Genta itu kelihatan cantik sekali. Sinar matahari yang memudar menembus dari jendela-jendela besar di belakang mereka memberi bias cantik di wajah Raya. Genta menahan keinginannya untuk menyentuh pipi Raya.
“Tentu aku suka. Tidak masalah kita akan kemana. Bulan madu kedengarannya menyenangkan, begitu juga kamar ini. Kamar ini luas banget,” gumam Raya sambil memandang berkeliling.
Tempat tidur itu bertiang empat dengan bantal yang banyak dan bertumpuk, guling dan bed cover berwarna krem. Juga selimut perca yang menyenangkan. Dinding dan plafondnya di cat putih dengan karpet dan tirai berwarna krem lembut.
“Kamu nggak akan tidur sendirian di sini.”
Mata Raya membeliak dengan kaget dan Genta tertawa kecil, “Lupa beberapa bulan lagi kamu harus berbagi dengan si kecil?”
Raya tersipu dan semburat merah menghiasi pipinya, “Kamu tidur di mana?” tanyanya malu.
“Kamarku di sebelah. Siapa tau tengah malam kamu butuh bantuanku dan kamu tinggal mendobrak kamarku.”
“Memangnya aku perampok!” Raya pura-pura menggerutu mencoba mengalihkan perasaan malunya karena mengira ia dan Genta akan berbagi kamar bersama, “Aku ingin lihat kamar mandinya.”
Raya memasuki kamar mandi dan menyukainya juga. Ada bathup raksasa dan bunga anggrek putih yang meliuk segar di jambangan kristal. Juga begitu banyak cermin. Cermin yang besar.
“Aku akan betah berlama-lama berendam,” gumam Raya sambil tersenyum, “Oh ya… kulihat dapurnya sudah terisi, bagaimana kalau kubuatkan teh sebelum kita pulang? Kita lakukan afternoon tea untuk rumah ini. Bagaimana?”
Genta mengangguk dan mereka kembali ke dapur itu. Dengan cekatan Raya menjerang air di dalam cerek. Menyiapkan cangkir tehnya dan menghidangkannya dalam keadaan hangat di depan Genta.
“Terimakasih,” gumam Genta.
“Bagaimana ceritanya kamu bisa membeli perlengkapan minum yang begitu komplit?” tanya Raya sambil duduk.
“Maksudnya?” tanya Genta heran.
“Ada cangkir kopi, ada cangkir teh, ada mug susu, ada cangkir khas Taiwan.”
“Mama yang membelinya. Memangnya apa bedanya cangkir teh dan cangkir kopi?” tanya Genta sambil memandangi cangkir tehnya yang mengepul.
“Cangkir teh dan cangkir kopi dibedakan dari bentuknya, Ta. Lingkar cangkir kopi biasanya rata dari atas sampai ke bawah. Ada sih beberapa yang mengecil di bagian bawah. Tapi cangkir teh, lingkarnya semakin keatas semakin melebar,” jelas Raya.
“Selama ini setiap aku minum aku nggak merhatiin cangkirnya. Eh ngomong-ngomong apa sih afternoon tea?” tanya Genta.
“Afternoon tea itu gaya jamuan teh kaum ningrat Inggris yang di mulai di abad 19. Ada tata cara khusus, di mana kaum wanita yang hadir datang dengan menggunakan gaun berwarna muda lengkap dengan perhiasan mutiara sementara nyonya rumah menyajikan teh Darjeeling, yaitu teh hitam termahal di dunia yang berasal dari India lengkap dengan perlengkapan minum teh yang terdiri atas teko, cangkir, piring-piring kue, pisau, garpu kue, serbet dan taplak meja putih yang diletakkan di sebuah meja rendah. Kue-kue yang dihidangkan di sebut tea cakes.”
“Waduh… repot sekali,” sahut Genta sambil tertawa, “Untunglah aku hidup di abad 21 dan gak tinggal di Inggris. Aneh-aneh aja!”
“Tau nggak Ta, sebenarnya tradisi minum teh itu awalnya datang dari Cina dan Jepang. Beberapa pengelana yang mengunjungi negeri itu kembali ke Eropa dan membawa tradisi menyenangkan itu di sana hingga membudaya.”
“Dan kamu salah satu penggemarnya!”
Raya tertawa, “Tau nggak sih kalau di kalangan profesional muda dan eksekutif ada istilah high tea. Sebenarnya itu meniru budaya afternoon tea. Setelah jam kantor usai mereka nongkrong dengan teman-teman atau relasi bisnis sekitar jam enam sore. Sebenernya high tea ini malah lebih bikin ngirit acara bersosialisasi, karena meniadakan makan malam. Cukup dengan roti dan makanan kecil, perut kenyang dan transaksi bisnis selesai. Gampang kan?”
“Kamu sering ngadain high tea sama teman kantormu, ya?” tanya Genta.
“Danis lebih suka membeli pizza dan ngopi di kantor ketika rapat. Untuk kamu tau aja Ta, zaman dahulu di Cina bila seorang gadis akan di lamar, maka pihak keluarga laki-laki akan memberikan teh sebagai hadiah. Kalau si gadis menerima teh tersebut, itu artinya lamarannya di terima. Hebat kan pengaruh teh, bukan cuma untuk kesehatan, kenikmatan dan gaya hidup tapi bisa pula untuk kebersamaan dan pengikat cinta antara laki-laki dan perempuan.”
Tiba-tiba mata Genta menyorot lembut, “Berarti kalau kamu sekarang meminum teh di cangkir itu, apakah artinya kamu menerima diriku, Raya?” tanyanya dengan suara yang berat.
Raya tersenyum kecil, “Ya, aku menerimanya,” lalu dengan anggun gadis itu mengangkat cangkir tehnya dan berkata lembut, “Untuk pernikahan kita.”

TBC

A Homing Birdحيث تعيش القصص. اكتشف الآن