Masih tentang mereka

7K 907 312
                                    

Hidup ini tak seperti jalan buntu. Hanya saja di depan sana banyak sekali tikungan yang harus dilalui.

Kedua kaki Agam sampai pada sebuah hotel mewah yang letaknya tak jauh dari kampus. Sekali lagi ia membaca pesan dari customernya mengenai pelayanan jasa yang perempuan ini butuhkan.

Dengan berjalan santai, Agam mulai mencari nomor kamar yang diinfokan oleh orang tersebut. Dia sama sekali tidak terlihat kaku dalam melakukannya. Karena pekerjaan menyenangkan yang hampir dua tahun ini dia lakukan memang sudah menjadi andalannya untuk hidup di negara orang.

Kiriman uang yang biasanya diberikan oleh kedua orang tuanya, langsung dia habiskan untuk dibagi-bagikan kepada sahabat-sahabatnya. Bukannya Agam merasa sok kaya melakukan semua tindakan itu. Akan tetapi karena rasa bencinya yang berlebih, dia melakukannya tanpa bisa dicegah.

"Ini dia," ucapnya tepat di depan pintu kamar tersebut.

Sambil mengunyah permen karet mint, Agam mengetuk berulang kali pintu tersebut.

Ketika pintu itu dibuka, tanpa aba-aba tubuh Agam ditarik masuk.

Agam begitu terkejut atas hal yang dia terima dari customernya ini. Bagaimana cara perempuan yang berat tubuhnya di atas rata-rata menindih tubuh Agam hingga membuat dirinya tersiksa.

Belum lagi bibir perempuan itu menari-nari tanpa memberikan Agam jeda untuk bernapas sedikitpun.

Hal inilah yang Agam benci. Menjadi anggota sekaligus founder BALAPAN harus memiliki kesabaran ekstra. Karena tidak selamanya memuaskan orang lain itu membuat diri sendiri bahagia. Kecuali orang lain itu adalah kekasihmu.

"Patient!!!" teriak Agam. Dengan sekuat tenaga dia mendorong tubuh besar itu yang beratnya ia pikir dua kali berat beban tubuhnya sendiri.

"Endlich habe ich dich," ucapnya. Tatapan kedua matanya kepada Agam begitu penuh harap, sampai membuat Agam mual melihatnya.

Agam akui wajah perempuan ini cukup manis. Tidak ada kurangnya sedikitpun. Karena yang Agam lihat semuanya berlebih. Termasuk berat badan perempuan di depannya ini.

Sungguh Agam menyesal tidak membuat ketentuan dalam registrasi menjadi customer BALAPAN bila harus melampirkan foto terbaru sebelum bertemu. Agar supaya bisa mengurangi hal-hal horor seperti ini terjadi.

"Come on, dont make me waiting," ucap perempuan itu dengan logat Jerman yang begitu kental.

Dengan menutup kedua matanya, Agam mencoba pasrah. Memberikan apa yang di mau oleh customernya itu. Walau hampir sebagian besar hatinya tak terima, Agam tidak mungkin bisa menolak. Karena inilah jalan hidup yang dia pilih. Menghindari satu masalah, malah bertemu dengan banyak masalah dijalan lainnya.

***

"Lo nggak punya rumah di sini?" suara Barra sambil mengunci pintu ruangan sekretariat.

Setelah seharian ini Barra membantu Wahid melakukan segala hal sebagai mahasiswa baru, saat malam tiba Barra pun tidak ragu-ragu menawarkan tumpangan untuk tinggal.

Apalagi dia sadar betul bagaimana kerasnya hidup di negara orang. Semuanya harus benar-benar dipikirkan sampai ke akar. Bila sekali saja lengah, bisa dipastikan hidupmu berakhir di jalanan.

"Nggak,"

"Lebih miskin dari gue dong," kekeh Barra geli.

Di sampingnya Wahid ikut tersenyum. Dia sudah jujur berkata bila ia tidak memiliki rumah di sini. Karena yang tinggal di Jerman adalah kakek dan Neneknya saja. Bahkan keduanya tidak tinggal disebuah rumah, melainkan disebuah castel tua yang dibangun begitu indah.

BALAPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang