6. Awalnya

159 18 0
                                    

Aku memberengut kesal saat mendapati Arief berada di depan kosku padahal aku sengaja berangkat pagi untuk menghindarinya. Sepertinya aku harus menyusun rencana, mungkin pindah tempat kos adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Aku tersenyum sendiri memikirkan rencana konyolku.

"Aku ngganteng ya, makannya kamu senyam-senyum sendiri."

Astaga kepedean banget ini orang.

"Nggak, lagian kamu kenapa kesini?"

Aku merutuk dalam hati, kenapa aku bertanya pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

"Kan aku sudah bilang, kalau aku akan mengantar jemputmu ke kampus, oh tidak maksudku kemanapun kamu pergi aku harus selalu bersamamu."

"Terserah kau saja." Percuma aku melawannya, nanti lama-lama dia akan bosan sendiri.

"Kamu belum sarapan kan?" Tanyanya saat aku sudah duduk di mobil.

"Aku nggak suka sarapan." Balasku ketus, ada rasa kecewa menyusup dalam hatiku karena Arief sudah melupakan kebiasaanku.

"Tenang aja, aku masih ingat kok kamu nggak bisa sarapan pagi hari, jadinya aku bawain kamu roti, dimakan ya nanti." Ucapnya saat menyadari wajah muramku lalu menyerahkan kotak bekal kepadaku.

Aku terkekeh kecil melihat kotak bekal itu.

"Kamu buat sendiri?" Tanyaku penasaran.

"Siapa lagi, khusus buat calon istriku." Jawab dia bangga.

"Apaan sih?"
Sial sepertinya aku salah tingkah sekarang.

"Oh ya nanti kamu pulang jam berapa?" Tanya dia sambil fokus ke kemudinya.

"Sore jam 5." Terpaksa aku menjawabnya, toh dia pasti akan nekat mencari tahu semisal aku tidak menjawab.

"Oke, nanti tunggu aku ya."

"Nggak usah, aku ada janji." Tolakku halus.

"Dengan siapa?"

"Bukan urusanmu." Balasku singkat.

"Tentu saja urusanku, karena kamu calon istriku."

Aku mendengus kecil selalu saja kata itu yang terlontar dari bibirnya, seolah kata itu sudah biasa di ucapkan.

"Terserah kau saja, tapi jangan salahkan aku kalau aku akan tetap pergi."

Dia diam tidak membalas perkataanku, aku heran tidak biasanya dia mengalah. Tapi aku dapat melihat tangannya mengepal erat dan otot rahangnya mengeras. Bisa kusimpulkan kalau dia sedang marah. Dasar Tuan Arogan, keluhku dalam hati.

Sampai di kampus dia tetap berada di dekatku lebih tepatnya berjalan bersamaku. Beberapa mahasiswa memandang kami dengan tatapan aneh, dan mahasiswi yang memandangku dengan tatapan iri.

"Sekarang kamu sarapan ya, aku tinggal dulu mau ketemu Ridwan."

Aku hanya mengangguk tanda mengerti ucapannya. Dia tiba-tiba mengecup keningku tanpa izin, mataku memelotot kaget. Sebelum aku mengeluarkan makianku, dia sudah berlalu pergi dengan tampang tanpa dosanya.

"Ehemm, aku ketinggalan berita nih."

Suara Lidya mengangetkanku.

"Maksudnya?"

Dia tetap mempertahankan raut wajah mengejeknya.

"Kau dan Pak Arief tentunya, jadi aku akan dapat undangan sebentar lagi."

"Ngaco kamu Lid, aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa." Balasku.

"Nggak ada hubungan apa-apa tapi cium kening segala, aku sampai kaget tadi, ahh harusnya tadi aku foto terus aku sebarkan ke grup dosen, sayangnya aku terlalu syok dan baru ada aku di ruangan ini."

Untitled - When I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang