"Kau tetap tidak bisa terus-terusan berada di sini," kata Var yang langsung mendorong Silvana membuka matanya lagi. Warna iris keduanya yang kontras saling bertumbukan. "Raja Kith menginginkanmu. Karena itulah dia membunuh permaisuri. Masalah yang kami hadapi soal pulau yang menyembunyikan perompak itu.. aku curiga ada hubungannya dengan Pangeran Hurdu. Kita tidak pernah tahu apakah keduanya saling bersekongkol atau tidak. Yang pasti, aku tidak bisa membiarkanmu jatuh ke tangan yang salah."

"Kalau begitu bawa aku. Di mana pun tidak masalah. Asalkan bersamamu-.."

"Vighę akan terus-terusan memberi masalah pada kerajaan lain kalau kau tidak kunjung ditemukan."

"Kia akan mengatasinya," ucap Silvana. "Dia hanya perlu memberitahu soal diriku pada ayahku.. Kabar dariku sudah cukup dibanding aku harus kembali."

Var mengernyit. "Darimana kau mengenal Kia?"

"Bertahun-tahun lalu..," jawab Silvana. "Karena akulah yang menyegel kekuatannya serta mencabut suara yang dia punya. Dia juga teman yang paling aku sayangi."

Var hendak mengajukan pertanyaan selanjutnya ketika mendadak bunyi perut menyela. Silvana mengerjap. Dia langsung merangkul perutnya sendiri. Pipinya merona. Var menghela. Dia bangkit berdiri kemudian melepaskan jubahnya. Jubah itu lalu membalut tubuh gadis itu. Tidak lupa Var juga memasangkan tudung besarnya hingga wajah Silvana seakan tenggelam—hanya menyisakan bibir ranumnya serta dagu.

Var mengangkat tubuhnya lalu melompat tinggi ke udara. Mereka mengarah ke Hăerz. Setelah melihat posisi yang aman untuk mendarat, Var pun menurunkan Silvana. Gadis itu tampak meringis sambil mengusap-usap leher. Wajahnya juga agak memucat. Var merobek sedikit bagian bawah bajunya lalu memasangkannya ke leher Silvana. Laki-laki itu lantas menggandengnya ke suatu tempat.

Silvana mengingat tempat itu. Dia pernah ke sana sebelumnya dengan Var dan Rife. Kedua laki-laki itu memberi pelajaran pada si Pandai besi—Bugu dengan menyita jimatnya sebagai jaminan.

Var dan Silvana masuk ke dalam, mendapati Bugu tengah tertidur seraya mendengkur. Var mendekat dan tanpa aba-aba menendang keras kaki kursi yang diduduki Bugu. Kontan pria itu terperanjat dan gelagapan melihat tubuh Var yang menjulang tinggi di hadapannya.

"Tu-tuan Var!" seru Bugu seperti melihat hantu. "Bu-bukannya senjatanya sudah diambil kemarin? Apa sekarang rusak lagi?"

"Belikan kami makanan. Aku lupa tidak membawa uang."

"Hah?"

Var hanya mengernyit menanggapi reaksi pria tua itu. Menelan ludah, Bugu pun cepat-cepat mengangguk.

"Apa yang ingin kau makan?" tanyanya.

"Apa saja. Dan jangan coba-coba bilang pada siapa pun kalau aku ada di sini."

Sebelum Bugu keluar, Silvana membuka tudungnya dan meraih lengan Bugu. Bugu tentu saja kaget, terlebih saat Silvana memojokkannya ke dinding.

"Aku pernah melihat roti yang dikukus berisi daging di sini..," kata gadis itu. Pancaran matanya berkilat antusias. "Bentuknya bulat dan sebesar ini." Dia menunjukkan kepalan tangannya pada Bugu.

"Roti kukus?" Bugu mengerutkan kening.

Silvana mengangguk.

"Baiklah." Pandangan Bugu beralih pada Var yang seenaknya duduk di kursi kesayangannya. Laki-laki itu tetap saja menakutkan biarpun tengah membawa seorang gadis kali ini.

Bukannya dari yang terakhir Bugu dengar, Var punya tunangan? Belum-belum dia berencana memiliki gundik?

***

Silver Maiden [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang