Melihat rambut hitamnya.. apakah karena disegel?

"Tuan Putri..." Fiona menerima tatapan hati-hati dari Silvana yang sepertinya tengah menciptakan "dinding". Gadis itu lantas menumpukan kedua lututnya di atas tanah sebagai salam yang sopan. "Apa yang terjadi? Anda menghilang saat di Raveann dan kini berada di Kith. Sekarang Vighę dan Raveann bersitegang. Saya yakin kesalahpahaman ini akan selesai jika—.."

"Pergi," bisikan Silvana seketika membuat Fiona mematung. Sorotnya yang nanar beralih pada Kia. "Jangan libatkan aku lagi."

Kia masih bergeming, bahkan ketika Silvana berbalik lalu melangkah pergi. Fiona bangkit berdiri dan terlihat amat kecewa. Mereka telah menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun demi membawa gadis itu kembali.

***

"Terima saja, pasti ada gua tersembunyi di lekukan semenanjung di Raveann—atau di mana pun pada garis yang menghadap laut." Rife berkacak pinggang. Sama dengan Var, laki-laki itu juga frustasi. Saat ini mereka masih berada di ruang terbesar dalam kastil di benteng, di mana di tengah-tengahnya terbentang gambaran peta yang luas. "Gua dengan lebar yang memungkinkan bagi sebuah kapal besar untuk masuk. Tapi memang, butuh kerja ekstra untuk bisa menyembunyikannya tanpa diketahui sama sekali."

Mereka tengah bergeming di tengah-tengah jalan buntu, Var akui. Menyerang tanpa melacak sarang sebenarnya dari perompak-perompak itu bukanlah ide yang bagus. Sejauh ini mereka memang berhasil memberangus beberapa kapal, tapi itu tetap tidak ada gunanya jika hasil jarahan tidak bisa didapatkan kembali. Dengan jumlah senjata yang mereka jarah, sangat mungkin mereka akan melenyapkan sebuah negeri—Larөa misalnya.

Masalah ini semakin pelik dan terus berjalan seolah tanpa ada akhir.

Sementara Var dan Rife saling berdebat, memperkirakan kemungkinan-kemungkinan baru, Silvana duduk di atas kursi yang biasa ditempati Var saat berdiskusi dengan kapten kapal. Sekarang sudah sangat larut malam. Mungkin hanya Var dan Rife yang masih betah terjaga—biarpun mata Rife mulai memerah. Silvana menaikkan kakinya pada kursi hingga dia bisa menopang dagu ke atas lutut. Selama Var dan Rife bicara, gadis itu juga menggerakkan bidak-bidak catur semaunya.

Sepulangnya dari Hăerz, Var membiarkan Nii dan kuda Rife dituntun ke istal oleh prajurit yang berjaga. Laki-laki itu tidak membiarkan Silvana kembali ke bangsal, melainkan menariknya ke ruangan mereka berada kini. Saura sempat datang ke sana kira-kira empat jam yang lalu. Var yang gusar terpaksa menemuinya sebentar, meninggalkan Silvana sendiri. Namun dalam waktu singkat, Var pun kembali lagi. Silvana sadar jika kerutan di dahinya selalu bertambah tiap Saura datang.

"Apa kau benar-benar yakin jika Raveann tidak punya andil dalam hal ini?"

Var mengernyit. "Apa maksudmu?"

Rife menghela napas panjang gusar. "Raveann adalah sarang bagi para cenayang. Mereka bisa menyembunyikan sebuah gunung dengan mudah."

Var tidak pernah terang-terangan menolak mengakui Raveann terlibat, namun Rife yakin jika laki-laki itu tetap berpendirian pada dugaannya sendiri. Rife pun tidak ingin ada konflik yang tercetus di antara Raveann dan Kith. Tapi aksi perompak kali ini sudah cukup keterlaluan.

Melihat Var tetap diam, Rife kembali menghela dalam-dalam.

"Salazar menjadwalkan kita mengerahkan semuanya lusa," katanya di puncak rasa lelah. "Kita hanya punya dua pilihan: ikut arus atau.. mendapatkan jalan baru—di mana nama Buriand taruhannya."

Var memejamkan mata. Rife yakin dia mampu meresapi baik-baik apa yang hendak dirinya tekankan. Kemudian tanpa mengucap apa pun lagi, Rife keluar ruangan.

Silvana berjengit mendengar bunyi pintu ditutup. Pandangannya mengarah pada Var yang masih bergeming dekat meja peta. Menimbang sebentar, Silvana akhirnya memutuskan mendekati laki-laki itu. Var tidak bereaksi saat Silvana berdiri tepat di sebelahnya. Melihat wajah lelahnya, Silvana mengusap lengan Var tanpa sadar. Laki-laki itu pun menghela napas panjang.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now