Imajinasiku Terhenti

316 7 0
                                    



Mungkin hanya malam itu, malam paling bahagia yang pernah aku rasakan bersama Nanda

Motor antik itu terhenti di depan sebuah gang, canda tawa selama perjalanan membuatku sadar, perasaan ini tidak lah salah. Deguban jantung beberapa tahun silam ketika Nanda menyatakan, baru kupahami apa arti deguban itu. Terlambatkah?

"Otak gue kayaknya geser deh Ra,"

"Ha?"

"Iya, bayangin aja, sepanjang perjalanan lo gak berenti mukulin helm gue,"

Aku tertawa memandang wajahnya yang entah bagaimana bisa kugambarkan. Nanda bukan lelaki yang tampan, dia juga tidak keren. Malah, terlihat cupu dengan kacamata berbingkai hitam pekat di wajahnya. Dulu, setiap hari berganti dan aku harus berangkat sekolah, hanya Nanda yang mampu membuatku menarik nafas panjang setiap masuk kelas.

Dan kini, Nanda berubah menjadi sosok yang membuatku terus menghembuskan nafas panjang, jika imajinasiku akan dirinya tak sesuai dengan apa yang terjadi esok harinya. Senyum itu, senyum Nanda di malam itu, kuputuskan untuk tak pernah kusingkirkan dari kotak kenangan yang amat berharga.

Kembali pada masa yang sesungguhnya. Matahari bersinar begitu cerah, semburat senyumku tak henti terlahir dari bibirku yang tak mampu menahan diri untuk tersenyum. Begitu pula dengan Nanda, yang sama belum menggugurkan senyum manisnya yang sejak awal kuperhatikan lewat kaca spion motor antiknya. Mungkin hanya karena sedang bernostalgia.

"Ini namanya jalan Alor, biasanya menjelang malam, akan ada lebih banyak pengunjungnya,"

Aku masih memperhatikan sekitar, ada banyak lampion bergelantungan disana. Meski cahaya masih terang karena matahari, lampion itu masih terlihat cantik dengan warnanya yang cerah. Aku juga tak menahan kuasa mencium bau masakan yang tersedia di beberapa kedai jalan Alor.

"Disini tempat jajanan murah meriah, kamu bisa makan apa aja sepuasnya tanpa harus khawatir boros," jelas Nanda sambil meraih helmku untuk di letakan di atas spionnya.

Aku masih memandangi sekeliling jalan Alor. Terlihat seperti pasar kaki lima, namun lebih bersih dan teratur. Setiap kali aku dan Nanda berjalan, setiap pelayan restoran menawarkan menunya dengan sopan, Nanda mengingatkanku untuk tetap tenang, dan menggeleng jika tidak tertarik, dengan begitu pelayan akan berhenti memberikan tawaran menunya.

"Kamu mau coba apa Ra?"

Dengan sigap aku menjawab sate, entah sejak kapan aku memikirkannya, dan Nanda pun setuju membawaku mencari kedai sate di jalan Alor.

Sambil menunggu, aku dan Nanda kembali berbincang, membahas masa lalu yang masih terbilang 'menyenangkan ' untuk dibahas. Masa-masa kecil aku dan Nanda memang menyenangkan, namun tidak sejak masa SMP mulai habis masa berlakunya. Tak kusangka, malam itu, di malam perpisahan ketika aku memutuskan untuk menyatakannya, Nanda mematikan segala asa dalam sekejap.

Jadi, Inikah Kita Yang Sekarang?Where stories live. Discover now