"Kirim pesan pada kakakku di Ranoor..," perintah Negrissar dengan nada yang bergetar. Kakak sulungnya merupakan istri Jenderal Ranoor. "Aku harus minta bantuannya segera."

***

Silvana membatin pada hitungannya keempat. Malam ini adalah malam keempat sejak Var terakhir kali datang ke sana. Berjaga-jaga supaya tidak ada masalah lagi yang dia timbulkan, Silvana menghabiskan semua makanan yang diberikan. Makanan-makanan yang hambar. Tapi baginya sekarang, jauh lebih buruk jika laki-laki itu mendatanginya lagi dengan rautnya yang menyeramkan.

Tapi kenapa sebagian hatinya ingin bisa melihat Var lagi?

Pukul berapa sekarang? Silvana melihat sekitarnya, mendapati tawanan lain yang tengah terlelap. Dia menyibakkan selimut lusuh kemudian berdiri dekat jeruji. Berada di pinggiran membuatnya bisa melihat dua penjaga di luar yang rupanya juga tertidur. Menghela napas, Silvana menyadari jika tidak ada siapa pun yang bisa membantunya keluar.

Kecuali...

Gadis itu memperhatikan renggang antara kayu yang membentuk jeruji. Matanya menyipit saat mengusap-usap dagu. Ragu-ragu, dia lalu menjulurkan tangannya keluar. Dia bisa mengeluarkan tangannya tanpa menggesek salah satu kayu. Apakah..? Silvana selanjutnya menghadap ke samping, dengan pandangan yang masih tetap mengarah ke renggang kayu. Dadanya berdebar-debar saat meloloskan kaki. Saking gugupnya dia sampai menahan napas. Tidak dia sangka, tubuhnya bisa dengan mudah membebaskan diri tanpa membuka kuncian.

Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas senyum samar. Silvana tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, tapi entah kenapa rasa berdebar-debar yang dia rasakan kini terasa menyenangkan. Hati-hati, dia lalu keluar dari bangunan bangsal. Tanpa kesulitan juga dia melewati prajurit penjaga yang tertidur. Sepertinya sudah larut malam.

Silvana melangkah pelan melewati istal. Mendadak sesuatu tertangkap oleh sudut matanya. Dia ganti menoleh ke dalam istal yang meski tanpa penerangan, Silvana tahu ada beberapa ekor kuda yang berdiam di sana. Salah satunya mendengus—lumayan sensitif pada orang asing yang mendekat.

Silvana menghampiri pintu istal yang pertama. Dia terperanjat mundur ketika kepala kuda di dalamnya menjulur keluar. Kuda itu meneleng, menatap Silvana dengan salah satu manik matanya yang berkilat. Seakan sedang mengatakan sesuatu, dia pun meniup-niup poni Silvana yang berantakan. Kuda yang jinak sekali, batin Silvana. Saat tangan gadis itu terangkat untuk menyentuhnya, kuda itu tidak mengelak, bahkan menyorongkan moncongnya lebih dekat.

Senyum gadis itu merekah.

Tiba-tiba terdengar suara orang lain yang berjalan mendekat. Silvana tersentak. Panik dan kebingungan, dia berusaha mencari tempat untuk bersembunyi. Kuda itu lalu menggesek-gesek kakinya sendiri, seperti sedang mengarahkan Silvana untuk masuk ke dalam bilik istalnya.

"Hei! Bangun! Kalian cari mati hah?" Prajurit lain yang datang langsung mengomeli penjaga bangsal tawanan yang tidak sengaja tertidur. Mereka sontak terperanjat dan buru-buru minta maaf. Ternyata sudah waktunya untuk ganti giliran penjaga.

Silvana mengintip lewat celah istal. Dia belum tahu ke mana akan pergi setelah ini. Yang jelas gadis itu tidak ingin ketahuan jika sedang kabur. Ekor kuda itu mengibas-ngibas ke kepalanya yang lalu membuat Silvana menoleh. kepalanya menyuruk ke leher Silvana kemudian duduk di sampingnya. Hangat yang menjalar dari tubuh kuda itu perlahan membuat Silvana didera kantuk. Tidak lama, gadis itu pun tertidur beralaskan rumput kering makanan si Kuda.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now