24. astral projection

82.4K 18.5K 583
                                    

"Kenapa sih bisa nekat gitu? Sekarang mungkin kamu dan Jaeyoon dalam bahaya," ucap Ten dengan nada kesal yang berusaha ditahan.
  
    
    
  
  

"Aku nggak punya pilihan lain," jawabku datar. "Makanya tadi Na Jaeyoon aku suruh pulang secepatnya."
 
   
"Iya sih," ujar Ten. "Ya udah lah, lupain aja. Sekarang gimana?"
  
  
 
Aku menggigit bibir sambil melirik Jaemin yang juga tampak clueless.
 
Ahㅡ pertama Ten harus tahu apa yang baru saja terjadi.
  
  
Tadi...
saat Jaemin hampir... men- menciumku?
  
Sial.
Mengingatnya saja membuat nafasku macet di tenggorokan.
  
  
 
"Rrr... Anu," gagapku pada Ten. "Kamu harus tau, ada yang aneh."
  
  
"Apa?"
  
  
Aku menghela nafas sebelum menjelaskan panjang lebar.
"Aku bingung mau mulai darimana, yang jelas aku ketemu Jeno dan Sulli di Coral. Ternyata Sulli itu wiccan ㅡya, aku baru tau,  dan dia bilang beberapa hal tentang apa yang terjadi sama Jaemin sekarang.
Dia bilang katanya... arwah nggak bisa bertahan di luar tubuh lebih dari 12 bulan.
Dan barusan banget... ada yang berubah dari arwah Jaemin, phisically, jadi lebih transparan..."
  
  
   
   
Ten mendengarkan serius sampai alisnya berkerut. Bibirnya bergerak-gerak seperti menghitung dalam hati lalu ekspresinya berubah.
 
"12 bulan?" ujar Ten. "Ini kan udah sebelas bulan lebih!"
 
 

Aku mengangguk lemah.
"Yeahㅡ tadinya aku nggak terlalu percaya sih. Tapi tiba-tiba tadi dia berubah."
  
  
Jaemin membuang muka saat kebetulan pandangan kami bertemu.

Kurasa dia juga ingat ㅡah sudahlah, tidak perlu dingat-ingat lagi.
  
  
 

"Ayo, kalo gitu," ajak Ten, tiba-tiba berdiri dari sofa ruang tamuku.
  
  
"Kemana?"
  
  
"Choi Sulli, lah. Mungkin aja dia emang tau lebih banyak, kan?"
  
  
Aku mengiyakan dalam hati.
 
"Oke, be rite back."
  
  
 
Aku bergegas ke kamarku untuk mencuci muka dan berganti baju, lalu berlari ke luar rumah mencari Ten yang sudah pergi lebih dulu.
 
Strategi bagus sih, kami jadi tidak kelihatan bersama. Aku trauma dengan kejadian pengeroyokan gara-gara dispatch waktu itu.
  
   
   
   
 
   

Mobil meluncur di jalanan lingkar pinggiran kota yang mulai gelap. Aku dan Ten sibuk bertukar teori dan membicarakan kira-kira Choi Sulli ada dimana.
  
Untung saja ternyata Ten mengenalnya, lingkaran pergaulan yang liar ternyata ada gunanya juga.
   
  
  
"Untung aja Jeno cepet-cepet gerak, jadi kamu nggak nekat sendirian," kata Ten setelah kami berhasil menemukan dimana Sulli sedang berada sekarang.
  
  
"Aku kira handphone kalian disadap," ujarku.
  
  
"Berhasil punya handphone cadangan, lumayan walaupun bentuknya aneh," Ten mengeluarkan benda kotak seperti tamagochi besar dari sakunya.
 
  
Aku hanya ber-ooh saja.
  
 

"Jeno itu aneh, agak menakutkan dia tiba-tiba baik sama aku," kelakarku.
  
  
Ten tertawa pelan.
"Mungkin sebenernya dia suka kamu."
  
  
Aku memutar bola mata.
"Hampir lucu," aku tertawa dibuat-buat.
  
  
"Hmm..." Ten tampak berpikir. "Kalau yang sebernernya suka kamu, gimana? Termasuk pedofil nggak?"
  
  
"Nah, itu lebih lucu," aku tertawa. "Talk to my hand."
   
  
     
 
Kalau candaan ini terjadi saat kehidupan fangirl-ku masih normal, mungkin sekarang aku sudah mati karena terlalu senang.
Tapi sekarang semuanya berbeda, aku terlibat dalam kehidupan mereka.
Bertemu mereka rasanya sudah tidak seaneh dulu.
    
   
 
   
   
  
Kami berhenti di sebuah apartement yang tampak biasa saja.
  
Ten menjejalkan topi ke kepalaku sebelum kami setengah mengendap-endap ke bar apartement ini. Menggelikan sekali, aku harus menyembunyikan identitas juga sekarang?
  
   

   
   
Tidak sulit menemukan Choi Sulli, dia sedang tertawa-tawa di sudut remang-remang bar. Aku dan Ten menyisir ruangan untuk meyakinkan tidak ada orang mencurigakan di sini sebelum menghampiri Sulli.
  
  
  
 
"Noona," sapa Ten saat Sulli sedang mengisi lagi gelas vodca-nya.
  
 
"Oh," Sulli menolah. "Aku kira kalian bercanda, ternyata datang beneran."
 
  
Mereka berpelukan lalu Sulli menatapku ramah.

Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana seseorang bisa tampak sangat cantik dan sinting di waktu yang sama?
  
  
"Ayo, duduk," ajak Sulli. "Tenang aja, ini private party ㅡaku kenal semua yang datang."
 
  
Kami duduk melingkar di sudut yang agak terpisah dari keramaian.
  
  
"Ada apa?" tanya Sulli.
  
  
   

Aku menjelaskan semuanya dari awal, seperti biasa Sulli mendengarkan dengan ekspresi tenang yang sulit ditebak sedang memikirkan apa.
  
  
 

"Hmm..." Sulli memilin ujung rambutnya dengan telunjuk. "Kalian mungkin ㅡah, pasti, kalian nggak percaya wiccan. Tapi sekarang liat sendiri, semua ini ada hubungannya kan?"
  
  
"Maaf, bukannya nggak percaya... tapi semuanya emang nggak masuk akal," ucapku tidak enak.
  
  
"I know. Bukan pertama kalinya aku dan wiccan lain dianggap gila, it's ok," Sulli tersenyum. "Kami nggak sekonvensional itu kok, kami punya forum."
  
  
 
Sulli mengeluarkan tablet pc dan menunjukkan forum diskusi wiccan yang semua user-nya menggunakan bahasa inggris. Aku dan Ten membacanya bersama ㅡada beberapa istilah aneh yang belum pernah kudengar sebelumnya.
  
Sebagian besar sama seperti apa yang sudah Sulli jelaskan tempo hari, tapi diperkuat sumber-sumber buku kuno.
  
Keren juga para wiccan ini.
  
  
 
"Jadi intinya apa?" tanya Ten yang tampak semakin bingung setelah membaca semua itu.
  
  
Sulli berdecak.
"Ya tanda-tandanya mulai ada," ujarnya. "Berarti countdown satu bulan terakhirnya udah mulai."
  
  
Jantungku rasanya jatuh bebas ke dasar perut, kulihat ekspresi Jaemin dan Ten menengang.
  
 
"Jadi kita harus gimana?" tanyaku pada Sulli.
 
 
"Apa lagi? Raga dan nyawa harus segera bersatu lagi, sebelum terlambat."
  
  
 
Aku mengeratkan gigi.
Mudah sekali mengucapkan semua itu, tapi bagaimana melakukannya?
  
  
Kami sama sekali tidak punya petunjuk dimana tubuh Jaemin berada, dan kalau benar sebuah gankster besar yang bermain di belakang semua ini... mereka bukan lawan yang mudah.
  
  
  
 

"Alisseu," panggil Jaemin di tengah lamunanku.
  
 
Aku menoleh padanya. Dia baru bicara lagi setelah diam selama di perjalanan tadi sampai sekarang.
 
 
"Apa?" tanyaku.
  
  
Ten dan Sulli melirikku antusias seolah menontonku berbicara pada udara adalah hal yang sangat menarik.
  
  
 
"Ada hal lain yang aku rasain selain kejutan listrik," ucap Jaemin perlahan. "Samar-samar sih, tadinya aku nggak yakin ㅡtapi dipikir-pikir ini rasanya nyata..."
  
 
"Kamu ngomong apa sih?" tanyaku tak mengerti.
  
  
  
Jaemin menghela nafas tanpa ada udara yang keluar dari lubang hidungnya.
  
"Tadi... ada sekilas bayangan, penglihatan ㅡya, pokoknya rasanya aku liat suasana yang beda. Inget kan ㅡtadi aku bilang rasanya benerapa saat kayak lagi nggak di kamar kamu?"
  
  
Aku mengangguk.
"Jadi, maksudnya?"
  
  
 
"Entahlah... Tapi aku rasa tadi sekilas aku terhubung ke ragaku," ujar Jaemin. "Dan di waktu singkat itu aku bisa liat dan ngerasain dimana aku ㅡmaksudku, ragaku, sekarang..."
  

 
Aku menatapnya dengan nafas tertahan.
 
  
Semua kebetulan ini terjadi tiba-tiba.
  
Kalau Jaemin bisa merasakan dimana tubuhnya berada, mungkin itu sedikit banyak itu bisa membantu...
 
  
  

Apa ini pertanda baik kalau belum waktunya bagi kami untuk menyerah?
.
.
.
.
.
ㅡtbc

Nowhere ; na jaemin ✔ [revisi]Where stories live. Discover now