Blue

77 9 0
                                    

Satu tangkai terputus hanya dengan sekali tarikan jari.

Baru kali ini ia melihat bunga berwarna biru dan berani ia cabut untuk dirinya sendiri.

Aku memerhatikan bagaimana pria itu terlihat senang ketika berhasil meresapi aroma bunga itu dalam kegelapan yang ia buat sendiri —kelompak matanya memejam. Terlalu menikmati.

"Aku atau bunga itu yang lebih cantik?"

Bukan aku. Hanya sifat spontanku.

Aku sedikit meringis mengetahui betapa kekanak-kanakannya pertanyaan itu. Akan tetapi pertanyaan itu dapat membuat Jimin kembali ingat bahwa masih ada seseorang yang berjalan bersamanya.

Karena sedari tadi ia hanya memerhatikan bunga itu.

Tatapan Jimin menamparku dengan segala ketegasan garisnya. Ini berlebihan, tetapi jantungku berdetak saat Jimin memandangku dengan sekali alihan.

"Apa-apaan itu?"

Ia terkekeh ringan. Kedua ujung bibirnya tertarik namun mulutnya tak terbuka terlalu lebar.

Namun entah mengapa kali ini aku tidak mengikuti senyumnya. Aku hanya menunjuk bunga itu dengan dagu, seolah mengunci seorang tersangka yang berhasil mencuri perhatian Park Jimin terhadapku.

"Jawab saja, mana yang lebih kau pilih. Aku atau bunga itu?"

Keras kepala memang. Emosi kekanak-kanakan berubah menjadi penasaran yang sesungguhnya. Tak ada sorot yang bersahabat untuknya, sungguh aku ingin tahu bagaimana cara Jimin menjawabnya.

Jimin menimbang, tangannya masih terangkat agar terjaga jarak bunga itu dengan wajahnya.

Secara implisit Jimin masih belum sepenuhnya mau mengalihkan perhatiannya dari bunga itu. Baiklah.

"Aku?"

Nadanya menggantung. Aku hampir menampar lengannya.

Dan dia tertawa hingga matanya menghilang.

Tertawa!

Bagaimana wajah serius ini mendapat gelak tawa darinya yang terlihat sangat puas itu? Oh sungguh? Apa ini permainan untuknya?

Sebentar, tahan. Mengapa aku menjadi emosi seperti ini?

"Oh tidak... Tidak akan aku tanyakan tentang wajahmu yang tiba-tiba cemberut itu, tetapi sungguh, wajahmu lucu."

Ia tertawa. La. Gi.

Aku sudah bosan. Biarkan dia tertawa, aku hanya akan melangkah meninggalkannya.

Pria itu tidak membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Sebelah lenganku ditarik untuk membuatku kembali menghadapnya.

Aku tidak akan lagi berbicara.

Dia menatapku dengan sisa kekehannya, itu masih menyebalkan.

"Baiklah... Biar aku pilih."

Kemudian ia hanya menggumam yang anehnya terus aku perhatikan.

"Hm..."

Untuk kali ini waktunya tak begitu berarti. Aku membiarkannya mengulur-ulur tanpa emosi yang berarti. Sungguh, wajahku sudah mengeras tanpa ekspresi.

"Aku memilih bunga ini."

"Wow? Bagaimana bisa?"

Itu spontan juga. Memalukan tapi wajahku ikut menampilkan ekspresi terkejut secara berlebihan.

"Ada apa dengan wajahmu lagi astaga. Kau tidak sedang mendaftar acara komedi kan?"

Ia tertawa lagi. Biasanya tawa itu adalah pemecah dinginku, namun kali ini terdengar seperti pembelah emosiku.

Hell. Untuk apa aku emosi untuk hal sekecil ini?

Bukan suatu kuasaku lagi ketika langkahku mendadak cepat dan meninggalkannya di belakang.

"Hey, ada apa denganmu?"

Aku tak mendengarkan. Karena ia dengan mudah kembali menyejajarkan diri di sebelahku. Badannya memang pendek, tetapi masih lebih panjang kakinya daripada milikku.

Ia melakukan hal itu sekali lagi.

Namun tanpa sentuhan jari.

Tidak ada satupun dirinya menyentuh tubuhku karena dia langsung menghadangku dengan tubuhnya.

Aku hampir saja menabrak tubuh itu jika tidak mengeremnya secara tepat, membuat mata kami bertemu dengan napas yang berembus cepat.

Dan sekarang aku hanya sanggup bertanya pada diriku sendiri, ada apa dengan pandangannya?

"Dengarkan..."

Baik aku mendengarkan. Bak anak SD aku masih mengejeknya dalam hati. Yang benar saja.

"Terlalu egois untuk mencintaimu lebih dari bunga ini. Karena bunga adalah bagian dari bumi. Ketika aku bisa merawat bunga ini dengan hati, aku bisa jadikan cinta kita lebih indah lagi. Bukan begitu?"

Aku terdiam saat merasakan ujung jarinya merambat melalui pipi hingga telunjuknya berada di belakang telingaku.

"Karena pada dasarnya kau dan bunga adalah hal yang berbeda. Bunga bisa indah di mata siapa saja, tetapi kamu terindah hanya untukku saja."

Aku tidak akan mengerti mengapa hal itu terjadi. Tetapi biar aku sebut,

Cahaya senjanya sangat indah saat itu.

Walaupun yang ku lihat hanya wajahnya yang kian mendekat.










N.a:

Aku ndatau aku ndatau 😂

Love Affair [BTS Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang