Pt.2| Mini Chapter 20 : Slices Of Days

Start from the beginning
                                    

Aku sempat bertengkar lagi dengan Daryl. Brengsek itu ingin Raizel menginap disana. Aku menolak. Memang bukan hak bagiku melarang Raizel. Tapi aku sudah muak melihat mereka bermesraan. Di rumah saja mereka berani begini dan begitu, apalagi di tempat itu. Aku sakit melihat mereka di depanku, tapi lebih sakit lagi jika tidak tahu apa yang dilakukan Raizel dengan bedebah itu di belakangku. Setidaknya, di rumah... tak satupun kondom pernah terpakai. Aku percaya Raizel belum melampaui batas dengan Daryl. Apalagi dia berjanji padaku untuk melindungi bagian dirinya. Aku akan terus memegang janjinya dan melindungi dirinya sampai kapanpun. Apalagi aku dan Daryl sudah membuat kesepakatan.

Senin, 24 April 2017

Aku ingat kalau di hari pertama Daryl menginap di rumah waktu itu, Daryl sengaja memilih pakaiannya Raizel untuk dikenakannya. Aku tidak mengerti kenapa ia melakukannya, padahal pakaianku lebih layak di tubuhnya. Tidak mengerti mengapa ia begitu menikmati sentuhan kain pakaian milik Raizel di tubuhnya. Tapi sekarang aku mengerti...

Raizel bertukar jaket denganku di bioskop. Entah ada angin apa, dia mengajakku menonton berdua saja. Dia tidak mengabari Daryl yang kembali sibuk dengan kuliah dan tugasnya. Memberi ruang bagiku untuk memakan sedikit waktunya.

Rasanya hangat, bukan di tubuhku. Di hatiku. Aroma tubuh Raizel yang biasa kukenal tercium lebih dalam saat aku mengenakan jaketnya. Sumpah demi Tuhan, aku tidak bisa berhenti tersenyum karena ini. Persetan dengan film horor di depanku. Ekspresi wajah Raizel yang ketakutan lebih seru dari filmnya. Setiap kali ia memegangi tanganku, bersembunyi memeluk tanganku saat ketakutan, setiap kali itu juga aku sadar kalau ia begitu manis dan memabukkan. Aku menyukai tingkahnya yang lucu ini.

Lalu aku membawanya pulang. Dia memelukku, tidak perduli dengan sekitar karena kami pulang tengah malam setelah menonton dua film sekaligus di bioskop. Jalanan yang lengang, angin dingin, lembut pelukannya di pinggangku melengkapi semuanya. Untuk sesaat aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia. Lupa kalau Raizel milik sahabatku. Semua fantasiku yang indah runtuh saat Raizel menangis di punggungku.

"Kau baik-baik saja?" kalimat pertamaku setibanya sampai di kamar dan menyalakan lampu. Raizel melepas jaketku dari tubuhnya, melempar diri ke atas kasur, tidak menjawab pertanyaanku. "Besok ada kuliah, dan kita pulang tengah malam. Ini lucu, ya?"

"Terimakasih sudah menemaniku. Kau yang terbaik..." Raizel mengacungkan jempolnya, kemudian bangun dan mendudukkan diri di atas kasur. "Aku sedang sedih, maukah kau menghiburku?"

Aku melepas jaket Raizel dari tubuhku, duduk di hadapannya. "Katakan saja apa yang harus kulakukan..."

Raizel tersenyum simpul, merah bibirnya lebih indah dari sembab matanya yang sempat menangis. "Aku pernah bertanya pada Daryl tentang hal ini, tapi dia tidak menjawabku. Aku hanya ingin tahu apa yang kalian bicarakan waktu kalian ke makam hari itu? Hari waktu kau memukul wajahnya Daryl..."

Aku tersipu saat ia mengatakannya. Aku tidak bangga dengan sikap cemburuku waktu itu. "Oh, yang itu... kami hanya bicara tentang masa lalu kami dan tentangmu."

"Apa yang kalian bicarakan tentangku?" sambut Raizel, penasaran.

"Kami membuat kesepakatan. Aku boleh terus bromance denganmu. Dia boleh terus romantis denganmu. tapi ada syaratnya...." aku sengaja memberi jeda agar ia semakin penasaran.

"Apa syaratnya?"

"Syaratnya, batasku hanya peluk dan cium pipi. Batas Daryl boleh melakukan apapun kecuali oral dan penetrasi ke tubuhmu. Kalau sampai aku mencium bibirmu atau melakukan apapun di luar batas yang ditetapkannya, dia juga akan melanggar batasnya. Kalau DIA yang melanggar batasannya, maka aku bebas melakukan apapun denganmu. Singkatnya, kami harus menahan diri. Hanya itu intinya, diskusinya saja yang panjang lebar dan penuh emosi, jadi lama mencapai kesepakatan..."

"Uhm... syukurlah. Sekarang aku mengerti kenapa Daryl enggan memintaku 'memberi kepala'. Aku merasa lebih dihormati. Lalu kalian bicara apalagi?"

"Tentangku yang masih takut hujan dan petir, aku meminta izin padanya untuk selalu berlindung padamu jika paranoid-ku kumat. Jadi, aku punya hak untuk memilikimu setiap hujan turun. Manis, bukan?"

Raizel menggeplak kepalaku, menamparnya pura-pura. "Perjanjian kalian konyol. Dasar kekanakan..."

Aku tersenyum. "Semuanya kulakukan untukmu. Perasaanku tidak akan pernah hilang, aku tulus, walaupun tidak memilikimu dengan utuh, aku selalu bahagia bisa melihatmu baik-baik saja."

Kedua mata Raizel memanas. Berkaca-kaca sebentar lalu kembali kering seperti sebelumnya. "Kalau aku tidak rakus aku pasti membuang Daryl dan kembali untukmu. Sayang sekali aku juga bahagia dengan Daryl. Terimakasih sudah bersabar selama ini. Aku heran kenapa kau bisa sekuat ini? Kau tidak ada niatan untuk pergi dariku? Membuatku kehilanganmu?"

Aku menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak..."

"Benar-benar aneh. Kau ini manusia apa bukan? Apa kau tidak pernah sakit hati terus berada di posisi ini?"

"Tidak... Karena aku hanya menyukaimu seorang."

Raizel terkekeh. "Gombal... Seharusnya kau mencari laki-laki lain yang lebih dariku. Tak akan ada yang menolakmu dengan wajahmu yang tampan begitu."

"Yang menolakku ada, kau orangnya."

Raizel kelu di depanku. "A-ah iya, ya... Tapi kau sendiri tidak pernah mau bertindak. Kau hanya menunggu, makanya aku mencari yang pasti seperti Daryl. Meski kekurangannya banyak dan ia seringkali membuatku kecewa..."

Mengganti topik. "Kau menangis kan, tadi? Kau kenapa? Mau cerita?"

Raizel mengangguk. "Ini tentang mama. Aku sudah cerita padamu kalau aku dan Vanessa sama-sama mengusut tuduhan Kevin tentang buruknya mama."

"Iya, lalu?"

"Vanessa menangkap basah mama. Mama pergi ke hotel dengan seseorang. Vanessa memotret mereka, Vanessa bahkan tahu nomor kamar yang mereka sewa. Ini berat bagiku."

"Kau yakin itu bukan untuk kepentingan kantor?"

"Entahlah... kita harus mengetahui lebih banyak... Kau mau membantuku?"

Aku membuang mukaku darinya, bingung. Aku tidak bisa menolak tapi juga tidak tega. Haruskah aku melakukan ini? "Aku akan membantumu..."

Selasa, 25 April 2017

Raizel terkantuk-kantuk di kelas. Selalu nyaris tertidur setiap kali dosen bicara panjang. Sekitar pukul 10 pagi di jam ke-4 mata kuliah hari ini, Raizel cekikikan.
"Ini lucu sekali!" bisiknya.

Raizel menyodoriku layar ponselnya. Ada screenshoot percakapan antara Daryl dan penjual alat ortopedi di inbox Instagram milik Daryl. Begini tulisnya...

Seller : Beli berapa piece, kak?

Daryl : Satu sista.Target ingin tinggi 185 cm bisa?

Seller : Bisa, kakak...

Daryl : Tapi sis ini kan alatnya disangkutkan di leher, jadi digantung begitu, kan?  Apakah leher saya akan panjang seperti jerapah?

Seller : Tidak kakak...  Paling tercekik saja.  Hehehe OwO

Pfft. Untuk beberapa alasan aku benar-benar ingin mengakak kencang. Kami cekikikan di sudut kelas seperti dua anak kecil yang digelitik.

Kamis, 27 April 2017

Ada dua penyelidikan yang akan kami lakukan hari ini. Pertama, tentang mamanya Raizel. Kedua, tentang alasan Elsa menginginkan kasus Randi ditarik ke pengadilan.

Kami akan mengerjakan yang pertama... Aku Raizel dan Vanessa sudah menunggu di lobby hotel ini sejak tadi sore... Aku tidak sabar melihat apa yang akan terjadi. Jika apa yang dikatakan Vanessa benar...  Tante Tyara akan muncul satu jam mendatang...

-|❂|-

Notice : See it to believe it...


Twisted (BL Novel)Where stories live. Discover now