Pt.1| Mini Chapter 2 : Playground

7.7K 576 170
                                    

Angin sore yang dingin berhembusan mengipasi dedaunan yang basah. Langit cerah bertahtakan bias jingga sinar mentari terlihat indah dari tempat mereka berada. Keduanya terhanyut dalam riuhnya taman kompleks yang penuh dengan anak-anak.

"Kak Izel! Lihaaat!" pamer anak umur 4 tahun itu dari puncak perosotan. "Yuhuuuu!" Boy meluncur dan mendarat di atas gundukan pasir dengan selamat. Sudah bukan hal aneh kalau anak itu akan terus mengulang-ulang aksinya hingga bosan. Menanggapinya, Raizel hanya tersenyum. "Kak Izel! Boy di atas lagi!"

"Kau tahu. Adikmu itu lucu sekali." kata Daryl, berbasa-basi dengan ragu. Mereka tak bicara sama sekali bahkan sejak langkah kaki pertama mereka menuju tempat ini... dan Daryl memang bukan tipe orang yang bisa berlama-lama merekatkan bibirnya.

"Aku tahu..."

"Sebelumnya, maafkan aku. Aku datang ke rumahmu saat keadaan rumahmu sedang..."

Menyela. "Sudahlah, Daryl. Aku tidak apa-apa. Tadi aku hanya terbawa emosiku saja. Lagipula kau memang sudah terlalu nyaman di rumahku. Ini juga bukan pertama kalinya kau masuk seenaknya."

"Jizz, kau ini." Daryl menyengir, mengiyakan. "Kudengar lusa lalu kau bertengkar ya dengan keluarga papamu? Aku tidak tahu rasanya menjadi dirimu, tapi dari frekuensi teriakan ratusan desibel yang merambat ke rumahku. Itu pasti berat untukmu."

"Iya. Begitulah. Terimakasih sudah memerhatikanku." Raizel tersenyum tulus ke arahnya. Sementara kedua mata Daryl menatapnya iba. Tak lama sebuah jeda panjang memisahkan mereka untuk beberapa saat. Keduanya kini berkutat dengan isi pikirannya masing-masing. Namun tak cukup lama sebelum akhirnya Raizel menoleh saat mendapati mimik wajah Daryl yang muram. "Kau kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya terpikirkan sesuat..."

Raizel menyela. "Masih tentang masalah dengan orangtuamu, ya?"

"..." Daryl menatap lurus pada Raizel. Memberi sinyal.

"Oh... Aku mengerti. Pantas saja hari ini kau ke tempatku." sambung Raizel. Keduanya kini saling melempar senyum. Simbol kekompakan isi pikiran mereka.

"Memang hanya kau yang bisa mengerti keadaanku." Daryl mengerising manis. "Kalau kau seperti ini terus lama-lama aku bisa jatuh hati padamu... Hahaha!" goda Daryl. Raizel sontak menginjaki sandal Daryl, main-main. Keduanya tertawa kecil, sesekali melirik satu sama lain sebelum tawa mereka reda.

"Uhum..." Daryl berdeham. Atmosfer mendadak beku saat kedua matanya tertuju pada seorang perempuan yang repot membawa sebuah kaleng cat besar beserta kuasnya. Raizel yang otomatis mengikuti kemana manik mata Daryl menyambar, hanya menyengir kuning sambil memutar mata saat perempuan yang diperhatikan Daryl itu berbalik dan memperlihatkan wajah galaknya.

Perempuan judes itu kini berjalan lebih cepat, membuang muka ke arah lain. Bertingkah seolah dua pengamat yang melihatnya tak pernah ada. Dia itu benci diperhatikan, itu lucu. Pikir Daryl.

"Jadi seperti itu ya tipemu?" Raizel tertawa renyah. "Perempuan berambut warna-warni, bertubuh seperti tiang listrik, berwajah pucat seperti hantu dengan telinga penuh tindikan. Tukang bakso di kampus saja lebih baik dari itu!"

"Hus! Jaga omonganmu!" sentak Daryl setengah berbisik.

"Apa!" bibir Raizel terbuka tak percaya. "Jaga omongan? Kau ini. Aku hanya mengatakan kebenarannya. Kalau tidak suka, ya sudah!" tandasnya.

Rahang Daryl mengatup kaku. Mood-nya benar-benar kembali ke 30 menit lalu sebelum ia masuk ke rumah Raizel. Boy yang tak sengaja melihatnya langsung memberi tanggapan seadanya. "Bertengkar?"

Daryl mengangguk pelan dengan bibir monyong sok imut yang dibuat-buat. Boy tiba-tiba ikut memberikan wajah serupa sambil memukuli lutut Raizel. "Jangan bertengkar! Baikan... ayoooo! Tidak baikan, Boy ogah makan!"

Ah, anak ini. "Maafkan aku ya, Dar."

"Yoi, sudah kumaafkan." datarnya. Suara Daryl mendadak terdengar seperti robot.

"Peluk!" Sentak Boy dengan suara kecilnya. "Ayo, peluk!" Boy lalu diam. Duduk di tanah, melipat tangannya dan memelototi keduanya.

"Lihat, Boy. Teman-temanmu main apa itu, lihat! Sepertinya seru. Kau harus segera kesana. Nanti ketinggalan, lho." bujuk Raizel. Mengalihkan.

"Ogah! Pokoknya peluk!"

"Begini?" Daryl merangkul Raizel dengan satu tangan.

"God, tubuhmu bau, Dar!" sempil Raizel, mengeluh.

"Bukan begitu! Peluk!" tampiknya. Boy mengerucutkan bibirnya, kesal.

"Baiklah..." puk puk. Mereka berpelukan, menepuki punggung satu sama lain. Wajah Raizel mendadak kecut karena diamati penghuni lain yang lewat. "Sudah, kan?" Boy mengangguk cepat dan berlalu begitu saja dari hadapan mereka. Setelah pelukan itu lepas Raizel masih saja menutupi hidungnya. Mencegah luapan perutnya yang mendadak mual. "Mimpi apa aku semalam. Bisa-bisanya aku berpelukan dengan makhluk lengket sepertimu. Arrghh..."

"Sudahlah, tidak usah munafik. Katakan saja kalau kau suka feromonku." menaik-turunkan alisnya, genit. "Benar, kan?"

"Feromon? Bau busuk seperti itu? Yang benar saja..."

"Lebih busuk mana dengan bau kentutmu, hah?"

"Hei, kau pikir kau..." bla bla bla... Perang argumen pun berlanjut.

"Tuh, kan bertengkar... haduuuh...!" celetuk Boy menepuki jidatnya.

-|☆|-

Warning : You gotta read more to see the awesomeness...

Vote & Comments are mandatory

Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang