9 • Kembalinya Brandalan

361 78 11
                                    

Cowok yang minggu lalu terkena masalah dan harus diskors dari sekolah, akhirnya muncul kembali bersama beberapa teman berandalannya. Membuat suasana sekolah menjadi ramai kembali.

Ingga dan Reina baru saja sampai di kantin. Dengan spontan sepasang mata Ingga langsung menuju pada Adit yang juga menatap Ingga dengan senyum simpul. Ingga pun segera melempar tatapannya ke segala arah menghindari tatapan bola mata Adit.

"Yah, berandalan itu muncul lagi. Padahal seminggu lalu enak nggak ada mereka," papar Reina.

Hanya senyum kecil seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali yang ia berikan pada paparan Reina. Tak ingin memperlebar pembicaraan diantara mereka yang mengenai berandalan-berandalan sekolah itu.

Sambil menunggu makanan datang ke meja mereka. Ingga pun langsung menandas pembicaraan itu dengan obrolan baru. Mengenai pengalamannya menjadi salah satu anggota osis.

"Beberapa minggu ke depan bakal sibuk banget nih, gue, Rein." Ingga seraya menatap layar ponselnya.

"Kenapa gitu? Osis, ya?" tanya Reina menerka sekenanya.

"Iya. Untung aja, database osis udah gue selesai minggu lalu. Nah, tinggal bantuin Reza nih, bikin proposal," ujar Ingga

"Proposal buat apa?"

"Buat pensi sekolah kita."

Tak lama makanan yang mereka tunggu datang. Dua mangkuk bakso hangat komplit Mang Krisna terpampang di hadapan mereka. Tak hanya itu, segelas es jeruk peras begitu serasi menemani mangkuk bakso.

"Ini, pesanan eneng-eneng gelis," ujar laki-laki paruh baya itu.

"Makasih, mang," ucap Ingga.

Mereka pun segera menyantap baksonya. Ingga menyeruput kuah bakso melalui sendoknya dengan begitu nikmat. Penghayatan terbaik saat memakan bakso, ya dengan menyeruput kuahnya hingga menimbulkan bunyi khas. Bakso Reina sudah hampir ludas. Tinggal tiga bakso yang senantiasa menemani kuahnya. Akibat sambal yang ia letakan dalam bakso terlalu banyak hingga menimbulkan peluh yang perlahan keluar dari pori-porinya, cewek berambut sebahu itu merasa ada yang aneh pada perutnya.

"Ing... Gu-gue, ke toilet dulu, ya." Cewek itu langsung berlari terbirit-birit meninggalkan Ingga seraya memegang perutnya. Ingga hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Ia paham betul pada Reina. Meski tahu akibat dari pemakaian sambal dan saus terlalu banyak, ia masih terus melakukannya kembali. Penyuka pedas. Sedangkan Ingga, ia tak begitu menyukai makanan pedas. Lebih ke pemakaian sambal atau saus dibatas standar.

Saat Ingga ingin menyedot minumannya. Suara berat seorang cowok terdengar ditelinga sebelah kirinya. Sontak ia lengoskan pandangannya ke sumber suara. Begitu terkejutnya ia saat melihat cowok tinggi berdiri di hadapannya.

"Sebegitu kagetnya lihat gue?" tanya Adit seraya mengumbar senyum simpul ke arah Ingga.

Ingga masih tak bisa mengucap apapun. Bibirnya masih menempel di sedotannya. Ingga takut. Ia khawatir. Ia cemas. Apa yang akan dilakukan cowok ini pada dirinya.

Adit duduk tepat di hadapan Ingga. Tempat di mana Reina menaruh bokongnya tadi. Tangannya ia lipat di atas meja. Menatap Ingga terang-terangan. Senyumnya masih belum pudar. Ingga mengikuti pergerakan tubuh Adit, meski ia tak sadar sedang melakukan hal itu.

"Mau apa ke sini?" Ingga akhirnya memberanikan diri bertanya yang seharusnya ditanyakan.

"Mau makan di sini," ujar Adit bertepatan dengan Mang Krisna yang membawakan semangkuk bakso pesanannya. "Makasih, mang," sambung Adit.

Ingga masih bingung dengan semua yang sedang terjadi di hadapannya. Benaknya selalu dipenuhi pertanyaan tentang Adit yang tiba-tiba datang dan duduk di hadapannya.

Bakso Ingga masih begitu banyak. Ia ingin menyelesaikannya dan pergi dari kantin secepat mungkin. Ia makan bulatan tepung dengan campuran daging itu secara kilat. Tak mempedulikan sepasang mata di hadapannya menatapnya aneh, namun masih terlihat tersenyum. Hingga akhirnya, Ingga tersedak karna memakan bakso begitu cepat. Saat ingin meraih minumannya, gelasnya kosong. Ia panik. Kemudian, Adit merelakan minumannya untuk diberikan ke Ingga.

"Nih, minum. Makanya, makan baksonya nggak usah buru-buru," ujar Adit seraya tersenyum simpul.

Ingga langsung meraih gelas Adit. Tak memikir sedemikian panjangnya. Selepas itu, ia baru merasakan malu. Sangat malu. Adit menyantap baksonya. Membiarkan Ingga menampakan wajah malu di depannya. Meski hanya terlihat samar. Ingga benar-benar mati kutu dalam situasi seperti ini. Reina tak juga menampakan dirinya. Ingga pun memutuskan untuk membayar bakso dan pergi meninggalkan cowok itu.

"Lo mau ke mana?" tanya Adit saat melihat Ingga yang berdiri dari bangkunya.

"Mau...mau bayarlah." Setelah itu Ingga langsung berjalan menuju dagangan Mang Krisna.

Adit masih menatap punggung cewek yang rambutnya tergerai panjang. Setelah menghampiri Mang Krisna, Ingga segera meninggalkan kantin. Namun, langkahnya terhenti saat suara yang ia kenal memanggilnya.

"Ingga!" pekik Adit.

Ingga melengoskan kepalanya ke sumber suara. Menatap cowok itu melebarkan senyumnya.

"Selamat belajar, ya," pekik Adit terdengar memberi perhatian dan sontak membuat seluruh pasang mata menatapnya bingung.

Ingga menaiki bahunya. Merasa geli dengan ucapan cowok itu. Kemudian, ia berjalan meninggalkan kantin. Benar-benar jauh dari kantin. Adit masih menatap punggung Ingga meski perlahan mulai tenggelam dari pandangannya.

***

Ingga duduk di kelas. Wajahnya masih terlihat syok dengan apa yang baru saja terjadi di kantin. Beberapa saat kemudian, Reina datang ke kelas dengan tergesa-gesa.

"Gue cariin di kantin, tahu-tahunya udah di sini. Nyebelin, lo." Reina duduk tepat di samping Ingga.

"Maaf...." Ingga tersenyum kaku. Tak seperti biasanya. Reina merasa ada yang beda dari senyum sahabatnya.

"Lo kenapa?" tanya Reina.

"Nggak. Gue nggak pa-pa," jawab Ingga kemudian langsung tertandas oleh kehadiran guru.

Ingga merasa terselamatkan oleh guru tersebut. Memutuskan introgasi Reina tentang dirinya. Namun, tak bisa dipungkiri tentang kejadian yang baru saja terjadi. Ingga terus memikirkan hal itu. Dan lebih buruknya bagi Ingga. Setiap kalimat yanh terlontar oleh Adit, seakan melekat pada ingatannya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku seragamnya. Sebuah pesan masuk datang ditengah-tengah jam pelajaran. Sang guru tengah sibuk menulis materi di papan tulis. Ingga membuka pesan tersebut. Membacanya secara sembunyi-sembunyi dari banyak orang, termasuk sang guru dan sahabatnya yang duduk di sampingnya.

From : +6285658679165

"Pulang sekolah, balik bareng, yuk. Gue tunggu di depan gerbang sekolah, ya."

-Adit-

Seketika itu pula, tubuh Ingga terpaku. Pupilnya melebar. Tatapannya ia buang dari layar ponselnya. Benda berukuran 5 inch itu ia masukan kembali ke dalam sakunya. Ia bingung. Bagaimana bisa cowok itu mengetahui nomornya. Ia benar-benar takut. Ketakutannya melebihi apapun yang selama ini ia rasa.

Barangkali, seseorang ingin menobrak hatimu guna masuk ke dalamnya. Meski terlihat memaksa, mungkin saja, hatinya benar-benar tulus untuk tinggal di sana. Mungkin Adit akan melakukan hal itu ke Ingga. Namun, entah lah. Mungkin ia memiliki cara lain untuk masuk ke dalam hati seseorang.
.
.
.


Jangan lupa VOTE dan COMMENT, ya. Itu bentuk semangat gue buat terus nulis cerita ini. Kritik dan Saran ditampung dengan senang hati. Hati gue terbuka lebar untuk kata-kata mendukung atau mengajar. Thank you so much❤

A dan I [Complete]Where stories live. Discover now