[13] Marketing Support

5.6K 332 22
                                    

Kamis, 8 Desember
8.20 WIB
Mobil Papa

Tadi pas sarapan aku dapet telepon dari Om Boris. Sebenarnya aku adalah orang yang paling enggan mengangkat telepon saat makan. Tapi Papa bilang mungkin penting, jadi akhirnya aku mengalah. Aku meletakan sendok dan garpuku, kemudian meraih ponsel yang ada di dalam tasku. Hari ini aku memang berencana langsung berangkat setelah sarapan, jadi tasku sudah siap di sampingku.

"Om Boris nih, Pa," ucapku saat melihat layar ponsel.

"Ya angkat dong, kan sekarang kamu bosnya Om Boris, bukan Papa lagi."

"Maaf ya aku angkat telepon dulu," ucapku pada Mama dan Papa. "Hallo, Om."

"Hallo Moira, ini Om Boris. Apa kamu sudah berangkat ke kantor?" tanya Om Boris dari seberang telepon.

"Sebentar lagi, Om. Ada apa ya?"

"Hari ini bisa meeting? Bu Disti dan timnya mau membahas perkembangan ide kamu kemarin."

"Oh gitu. Boleh, Om. Jam berapa ya?" tanyaku bersemangat.

"Pagi, bisa?" tanya Om Boris menyocokan jadwalku.

"Jam sepuluh ya seperti kemarin."

"Baik. Akan Om info ke tim. Sampai ketemu, ya. Salam untuk Papa dan Mamamu."

"Oke, Om. Terima kasih." Aku menekan tombol untuk mematikan sambungan telepon, lalu memasukan kembali ponselku ke dalam tas. "Mama sama Papa dapet salam dari Om Boris."

"Kenapa dia?" tanya Papa setelah menyeka mulutnya dengan serbet.

"Minta jadwal buat meeting. Katanya data dari tim marketing sudah siap. You have a very good team, Pa," pujiku.

"No. I have a very good daughter," goda Papa sambil mengusap daguku.

"Seharusnya dari dulu aja ya Moi jadi CEO," ucap Mama.

"Ih, aku kan nggak mau jadi CEO." Aku memasukan suapan terakhir sarapanku ke dalam mulut demi menahan protesku.

"Sayangnya perbuatanmu tidak mencerminkan kata-kata, Moi. Kamu CEO yang terampil. Kamu berbakat," pujian Papa kembali meluncur.

"Nggak ada yang salah dengan menjadi seorang CEO, Moi. Tapi kamu boleh berhenti bekerja setelah menikah," imbuh Mama.

"Dan, itu tak akan terjadi dalam waktu dekat," sergahku. "Sudah ya, Moi berangkat kerja dulu."

Aku buru-buru menghabiskan air putih, mencium Papa dan Mama bergantian dan kemudian melarikan diri secepat yang aku bisa. Pembicaraan soal menikah itu bisa membuatku jadi sinting. Aku belum mau menikah, toh aku juga belum punya pacar. Aku juga tidak berpikir untuk segera menikah setelah punya pacar. Karena meski aku memimpikan kehidupan seperti Mama dengan suami yang mencintainya dan anak yang luar biasa (ehem), tapi aku tak ingin buru-buru terikat dalam hubungan yang serius.

By the way, ada apa sih dengan jalanan Jakarta dua hari ini? Apa lagi ada gerakan mudik masal di awal Desember ini? Jalanan kok sepi banget. Bagus sih, aku jadi bisa sampai di kantor lebih cepat. Tapi Jakarta terasa kurang lengkap tanpa macet. Hahahaha...

Eh, Papa nelepon aku nih, udahan dulu ya.

Bye.

---

---

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.
CEO in TrainingKde žijí příběhy. Začni objevovat