Samar-samar telinga Var menangkap derap langkah seseorang yang berlari. Awalnya Var tidak begitu mengacuhkannya karena pikirannya sibuk berkutat dalam kesinisannya. Dan saat derap kaki itu semakin mendekat ke arahnya, Var mengerutkan kening. Laki-laki itu menoleh ke belakang tanpa memutar tubuh. Dia membelalak begitu melihat sosok Quon melompat ke punggungnya dalam sekejap.

Bahkan Var pun tidak sempat mengelak! Di saat yang sama, Rife tersedak.

"Tidak terlalu sulit menemukanmu ternyata," kata Quon yang mengalungkan kedua tangannya ke leher Var.

"Lepaskan sebelum aku menjatuhkanmu paksa," balas Var dingin seperti biasa.

"Dasar tidak punya perasaan! Bagaimana mungkin kau memberikanku herin begitu saja, sementara aku sedang bersusah payah menyiapkan diri?!"

"Kau akan kecanduan ramuan penghilang rasa sakit seperti orang gila."

"Oh, jadi ini untukku, atau karena kau tidak sabaran?"

"Dua-duanya."

"Brengsek! Sialan kau! Sialan!" Sebelum Quon mencakar-cakar Var, Rife lebih dulu menarik gadis itu supaya menjauh. "Herin tidak boleh dipakai sembarangan, kau tahu?! Bagaimana kalau waktu itu tubuhku tidak kuat? Kau bahkan tidak memperkirakan berapa yang kau oles di perutku, kau sialan!!"

Quon meronta-ronta saat Rife mengunci kedua lengannya. Laki-laki itu malah sedang menahan tawanya. Tentu saja Rife terkejut melihat bocah kotor kemarin saat ini ada di dekat mereka dengan seragam divisi medis. Tapi jauh lebih mengejutkan melihat Quon melompat ke punggung Var bahkan sepertinya berniat menghajar laki-laki sinis itu.

"Hei, kau bisa menumpahkan semua umpatanmu padaku sekaligus menceritakan apa yang terjadi kemarin," kata Rife yang lantas membuat Quon berhenti meronta. "Lupakan laki-laki yang menjengkelkan itu. Aku bisa balas mengerjainya kalau kau mau."

"Siapa kau?"

"Aku juga siswa baru, sama seperti dia." Rife tersenyum. Tidak memedulikan sorot tajam Var mengarah padanya, laki-laki itu menambahkan, "Tidak ada gunanya kau meneriaki dia seperti tadi. Dia akan berlagak kupingnya tersumbat atau semakin membuatmu jengkel."

"Dia sudah cukup menjengkelkan," ujar Quon yang menyilangkan tangan lalu tawa Rife meledak.

Kali ini Rife membiarkannya mendekat lagi pada Var. Wajahnya masih terlihat marah, tapi tidak seberingas tadi. Mereka saling bersitatap cukup lama. Ada perang yang berkecamuk lewat kontak mata keduanya. Rife juga bisa membayangkan ada segaris kilat yang menghubungkan keduanya.

"Kenapa kau mengambilnya dariku lalu membuangnya?" tanya Quon dengan rasa penasaran yang kian tidak terbendung. "Semua orang menginginkannya—karena itulah mereka selalu menuduhku mencuri. Apa benda itu lebih cocok berada di tangan bangsawan yang congkak?"

"Apa kau akan mencarinya lagi setelah kubuang?"

"Kenapa tidak?"

"Kalau begitu kau tidak ada bedanya dengan orang-orang yang menuduhmu mencuri—karena kau menginginkannya juga."

Quon menggigit bibir kesal.

"Jadi kenapa kau harus melarangku menyentuhnya?" tanya gadis itu lagi. Biar dilihat bagaimana pun, Var tidak punya niat mengambil berlian-berlian yang Quon temukan. Apa ada sesuatu yang Var ketahui?

Wajah Var berpaling, memutus pandangan keduanya. Saat laki-laki itu akan beranjak pergi, Quon langsung merentangkan tangan tepat di hadapannya.

Gadis yang keras kepala. Perangainya mungkin tidak berubah sewaktu di pasar atau Gihon.

Karena Var tidak kunjung menjawab pertanyaannya, Quon menurunkan tangan lalu melipatnya lagi. Gadis itu menghela napas panjang, seperti orang yang memutuskan menyerah saja.

"Aku tahu kau berasal dari Kith," kata Quon, direspon dahi Var yang mengerut. "Bukan orang biasa, kau bahkan seorang bangsawan. Pernah terpikir kalau orang Kith datang ke sini berarti cari mati?"

"Apa kalian akan selalu berlaku buruk pada orang Kith, biarpun mereka tidak tahu apa-apa?" tanggap Var serius. Dia sudah berulang kali mendapat pancingan yang menyulut emosinya di Gihon. Dan sekarang gadis itu hendak menambahnya?

"Aku tidak sedang mengancam," bantah Quon. "Aku hanya mencari tahu alasannya kalian tetap datang ke sini, meski tahu kalau Putra Mahkota kami baru saja wafat saat berkeliling perbatasan Oltra bersama prajurit Kith. Apa ada alasan selain itu.. yang jadi sebab kami membenci kalian?"

Var terdiam.

"Tapi kau tidaklah buruk," kata Quon lagi tak disangka-sangka. "Mungkin melalui dirimu, kami bisa merubah pandangan terhadap orang-orang Kith."

Sama dengan Var, Rife pun membisu mendengar kalimat gadis itu.

Pelan, Quon melangkah mundur sebelum kemudian berbalik pergi. Var dan Rife masih bergeming di tempat semula.

Sementara itu dari kejauhan, iris hijau Kia mengawasi dari sejak awal Quon menghampiri Var. Kepalanya sedikit miring, sambil sesekali mengerjap. Dia menoleh saat mendengar langkah kaki Cyde yang kembali ke ruangan diikuti siswa Zaffir yang lain.

"Daftarnya sudah siap," kata Cyde. "Jangan sampai ada gangguan. Minta beberapa anak di divisi medis memantau obat-obatan dan perawatan nantinya. Sampaikan juga pesanku pada Lilac."

Kia mengangguk sekali lalu pergi. Pandangan Cyde mengiringinya. Yang lain mungkin tidak menyadari, tapi sikap Kia agak aneh akhir-akhir ini. Sulit mengartikan sikapnya karena laki-laki itu tidak pernah bicara. Belakangan dia terlalu sering menghilang.

Cukup Cyde saja yang tahu betapa mengerikannya Kia apabila membelot ke arah kegelapan.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now