"Kemarahannya mengundang bencana. Sepertiga lebih wilayah Vighę hancur. Kalau kau mau, kita bisa mencari puing-puing tersisa yang belum diperbaiki. Dan setelah bencana itu usai, sang Gadis perak menghilang."

"Apa hubungannya dengan kebencian orang-orang Vighę pada Kith? Mereka menyalahkan kita hanya karena gadis itu marah?"

"Aku belum selesai." Rife menopang dagu dengan kedua tangannya yang terlipat. "Dia bukan sekedar seorang gadis—aku tekankan. Dengan kekuatannya yang besar, Vighę juga mendapatkan perlindungan. Gadis perak punya darah seorang dewi. Sosok seperti itu hanya muncul tiap seribu tahun di Oltra. Dan kau bahkan tidak bertanya kenapa Gadis Perak murka karena Putra Mahkota Vighę wafat."

Var mendengus. "Kenapa?"

"Gadis Perak adalah tunangan Pangeran Mikhail. Kalau saja pangeran itu tidak meninggal, gadis itu akan jadi ratu Vighę. Mereka bisa jadi akan membuat Vighę menjadi kerajaan terkuat di Oltra. Sekarang semuanya hancur. Raja Vighę tidak memiliki penerus, dan Gadis Perak menghilang."

***

Lagi-lagi gadis itu berlari tunggang-langgang. Kakinya yang telanjang penuh bercak-bercak lumpur. Rahangnya saling menggergaji. Kantong kecil yang dia genggam, dipeluknya erat di balik baju dalam. Quon berbelok tajam saat sampai di persimpangan. Di belakangnya, beberapa orang pria mengejarnya seperti macan kumbang kelaparan.

Tudung jubah Quon terlepas. Rambut legamnya meliuk diterpa angin. Baru saja dia menyandung kaki meja yang memajang perhiasan, sudut jubahnya tiba-tiba tersangkut! Ujung kayu dari pilar penyangga rumah menancap di kain jubahnya yang lusuh. Gadis itu mengerang. Dia berteriak-teriak sambil menghentak-hentak supaya tancapannya lepas—tidak peduli jubah itu robek.

Quon terkesiap melihat pria-pria yang mengejarnya makin dekat. Panik, dia memutar tubuh sebelum bunyi robek terdengar nyaring. Tenaganya terlampau kuat. Gadis itu terjengkal ke belakang. Namun bukannya menghempas ke tanah, sepasang tangan menopang pundaknya. Quon mengerjap. Wajahnya menghadap ke atas, mendapati Var menatapnya.

"Kau baik-baik saja?" Kali ini laki-laki di sebelah Var bertanya.

"Hei, bocah! Ke sini kamu!!"

Quon menelan ludah. Buru-buru dia bersembunyi di balik punggung Var—persis yang dilakukannya dulu.

Gerombolan pria yang mengejar Quon lalu berhenti di hadapan keduanya.

"Jangan-jangan kalian juga komplotannya?" tanya salah seorang dari mereka curiga.

"Memangnya apa yang dia lakukan?" Rife balik bertanya.

"Tidak mungkin gelandangan seperti dia punya barang seperti itu!"

"Dia pasti mencuri!"

"Dia harus dibawa ke prajurit keamanan!"

Rife ganti menoleh pada Quon. Gadis itu tengah menenggelamkan wajahnya menggunakan jubah Var. Dia sempat mengintip pada Rife sebelum tersenyum meringis dan menggeleng. Var yang tidak suka tubuhnya dijadikan perisai tiba-tiba menyentak tangan Quon. Gadis itu mengaduh. Bibirnya mengerucut di sebelah Var.

"Urus urusanmu sendiri," kata Var dingin. Dia lalu berbalik, hendak melangkah pergi.

Tiba-tiba saja rambut Quon dijambak dan telinganya dijewer. Gadis itu balas menjerit saat gerombolan pria tadi membentaknya. Mungkin mereka mengira kalau Quon masih anak-anak. Tampilannya sangat kotor, entah apa yang membuatnya seperti itu. Tubuhnya pun kecil dan ramping. Ditambah lagi gelagatnya memang mencurigakan.

"Aku tidak mencuri!" Quon bersikeras.

"Biar prajurit yang memeriksamu nanti!"

Tiba-tiba salah satu pria tadi berteriak nyaring. Var dan Rife sontak menoleh. Quon menggigit tangan pria yang menjewer telinganya. Pegangan orang itu terlepas hingga gadis itu bisa kembali berlari kabur. Sepersekian detik, pandangan Var bertumpu pada sosok Quon yang melewatinya. Ada sedikit suara gemerincing saat gadis itu berlari. Var juga tidak sengaja mencium sesuatu yang kental.

Laki-laki itu tetap diam saat Quon dikejar lagi. Gerak gadis itu di luar dugaan sangat gesit. Tapi Var tahu hal itu tidak akan bertahan lama.

"Bawa ini!" suruh Var melempar kantong apelnya pada Rife begitu saja kemudian melesat menyusul mereka.

Dalam sekejap, Var dapat menyalip pria pengejar dengan mudah. Tangannya menjulur pada sosok belakang Quon dengan satu sisi jubahnya yang sobek. Var melompat. Gadis itu langsung jatuh dalam dekapannya. Var mengerem, tidak memedulikan Quon yang membeliak kaget. Laki-laki itu mengambil ancang-ancang sebelum melompat untuk yang kedua kalinya.

Lompatan Var kali ini bukanlah lompatan biasa. Laki-laki itu melontarkan tubuhnya sendiri sangat jauh ke udara—seolah-olah terbang. Tubuhnya menjadi seringan bulu.

Quon terpaku menatap wajah Var dari dekat. Laki-laki itu membawanya sangat jauh dari tempat tadi. Setelah berpijak, dia menjatuhkan tubuh Quon begitu saja hingga gadis itu memaki tanpa suara.

"Terimakasih sudah menolongku. Ah, bukan. Terimakasih sudah hampir mematahkan punggungku!" ucap Quon sarkas.

"Kau menenggak terlalu banyak ramuan penghilang rasa sakit."

Quon mengerjap terkejut. Matanya membeliak saat Var berjongkok dan menatapnya dari jarak yang begitu dekat.

"Apa kau tahu kenapa aku menolongmu waktu itu?" tanya Var merujuk ke hari di mana mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. "Kau—siswa divisi medis. Apa yang membuatmu sampai terluka separah ini?"

"Kau mengigau?" Quon menyangkal.

Mendadak Var menekan perut samping Quon. Hanya tekanan yang lembut, hanya saja saking tiba-tibanya, gadis itu sontak menjerit. Beruntung, Quon membalut bagian itu dengan amat sangat rapi sehingga darah tidak mampu merembes keluar. Tapi jeritannya tadi sudah cukup membuktikan perkataan Var.

Quon meringis. Wajahnya memucat. Selanjutnya Var bahkan merebut kantong kecil yang gadis itu genggam. Var menumpahkan isinya dan terkejut mendapati butiran-butiran batu berlian di bawahnya.

"Aku tidak mencurinya!" tegas Quon sebelum Var mulai berpikir macam-macam. "Aku menemukannya setiap jalan-jalan ke hutan! Satu butirnya sangat mahal bukan? Karena itu aku ingin menjualnya supaya bisa membeli makanan. Entahlah dengan divisimu, tapi di Emerald—dengan alasan kesehatan, para koki mengacaukan rasa makanan!"

"Kau menemukannya.. di hutan?" Hanya itu yang perlu Var tangkap dari omongan Quon.

"Kenapa? Kau menginginkannya juga?"

Var tahu kalau batu-batu berkilauan di bawahnya itu adalah berlian. Tapi mata Var yang berbalut penglihatan yang istimewa menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang buruk.

"Jangan sentuh benda itu lagi."

"Apa?"

Var memasukkan berlian-berlian itu ke dalam kantongnya. Quon terperangah—terlambat bereaksi saat laki-laki itu melemparnya sangat jauh hingga lenyap dari pandangan kurang dari sedetik.

"Apa yang kau lakukan?! Kau gila?!" Quon berteriak.

Var tidak memedulikan kicauan Quon. Laki-laki itu diam sambil memunggunginya. Batinnya diliputi perasaan-perasaan aneh. Dia tidak menyadari suara Quon yang mendadak berhenti. Tahu-tahu saat Var menoleh, tubuh Quon tengah mundur perlahan. Mata gadis itu memejam menahan sakit. Tubuhnya lemas.

Var kontan menarik tubuh Quon sebelum berguling bebas ke dalam jurang.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now