satu

76.4K 2.2K 127
                                    

Adakah hati yang mati karena tak bisa diisi oleh apa pun lagi? Sepertinya seorang Bintang Alvaro tengah mengalaminya. Laki-laki berumur dua puluh dua tahun itu menarik napas sebelum mengembuskannya dengan kasar.

Dia menatap rumah modern yang sangat luas itu dengan pandangan mengamati. Bagaimana bentuk dan semua interiornya sangat serasi hingga menciptakan harmoni sempurna yang pada akhirnya membuat laki-laki itu berdecak kagum. Dia berada di rumah sahabatnya, Arash namanya.

Laki-laki yang beberapa bulan lalu menikah dan kini sudah memiliki satu anak laki-laki yang diberi nama Reza. Bintang datang untuk melihat, bagaimana bayi mungil itu terlelap tenang di keranjang bayinya sebelum ia duduk dan beristirahat di ruang tamu. Ini kunjungan pertamanya, walau mereka berada di kota yang sama, nyatanya baru kali ini Bintang mengunjungi keponakannya itu-sapaan yang diberikan Bintang kepada bayi Arash yang lahir terlebih dahulu.

Bintang datang sendiri, tidak bersama sahabatnya yang lain. Padahal Arash dan dirinya selalu lengkap dengan Galang yang pasti ikut serta. Galang sendiri masih beralasan sibuk dan ia akan datang kemari lain kali. Lebih lagi, Galang berada di kota yang berbeda dengan mereka berdua.

"Dateng ke sini jangan lupa makan, Bi!"

Arash datang dengan langkah tegap dan rahang kokoh yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya. Bintang hanya terkekeh menjawabnya sebelum bersuara. "Lo bakal tinggal di sini dulu, apa langsung pindah rumah?"

"Bunda nyuruh tinggal dulu, Lana masih muda, lagian Reza juga masih kecil. Bunda belum siap kesepian di rumah ini. Lo tahu kan, Vasha sekolah, Akram kuliah di luar. Sepi banget pasti hidup beliau."

Bintang mengangguk paham, hingga Arash menanyakan sesuatu yang membuat Bintang tersedak air liurnya sendiri. "Jadi, lo mau kerja di mana?"

Bintang menggelengkan kepalanya. Ia juga bertanya hal itu pada dirinya sendiri. Ia mau kerja di mana?

Memang benar banyak lulusan sarjana yang jadi pengangguran, tapi buat seorang Bintang menganggur adalah hal yang memalukan. Belum lagi umurnya yang kian hari semakin bertambah dan waktu yang terus berjalan tk akan lagi dapat diulang.

"Gue gatau dah, entar mau nanya ke rumah tante gue kali aja beliau punya lowongan kerja yang lumayan gitu gajinya. Ayah gue kan ... lo tahu sendirilah kayak gimana?"

"Mau nyoba kerja di perusahaan bokap gue kagak?"tawar Arash yang membuat Bintang menggelengkan kepalanya. Sungkan.

Walaupun ia sudah menganggur nyaris dua bulan ini, nyatanya tidak ada ide melintas di pikirannya untuk meminta tolong pada kedua sahabatnya. Arash yang memang sudah bekerja membantu ayahnya sejak masih kuliah, dan Galang anak tunggal yang pasti langsung mendapat pekerjaan dari perusahaan keluarganya. Walau Bintang yakin Galang akan melewati jalan yang rumit juga, tapi entahlah ... Bintang sungkan meminta bantuan pada teman-temannya.

Bukannya ia malu, hanya entahlah ... seperti ia tidak bisa mencari pekerjaan sendiri saja.

"Gue nanya tante gue dulu, mumpung beliau lagi pulang ke sini kan lumayan Rash, jarang-jarang beliau ke sini."

Arash mengenal tante yang Bintang maksud. Dia mengenalnya karena Bintang pernah bercerita sewaktu masih kuliah dulu. Walau Bintang tertutup pada ia maupun Galang, nyatanya laki-laki itu juga pernah bercerita tentang keluarganya walau tidak detail.

"Kalau dikasih kerjaan yang ada di Jepang, lo juga yang bakal kewalahan kan, Bi? Sejak kapan lo bisa bahasa Jepang?"

Bintang hanya nyengir menghadapnya dan membuat Arash menghela napasnya kasar. "Intinya aja sih, jangan lupa makan sebelum pulang. Gue musuhin lo kalau sampai nasi gue nggak ada kurang!"

"Lo kayak abis masak banyak gitu daritadi nyuruh gue makan mulu, masak enak ya lo?"

Arash menatap Bintang sinis. "Bukan gue yang masak, kalau gue masak, dijamin satu rumah ini bakal keracunan."

Dan setelahnya Bintang hanya terbahak untuk menanggapi kata-kata sahabatnya.

***

Rumah sepupunya masih sama seperti terkahir kali ia ke sana. Memangnya kapan terakhir kali Bintang ke sana? Bintang lupa. Yang jelas, lebih dari lima tahun ia tidak ada mengunjungi rumah itu. Lagipula, sepupunya baru pindah kemari beberapa bulan lalu.

Setelah memarkir mobil hitamnya, ia melangkah ke depan pintu dan membunyikan bel. Akasa, sepupunya yang kini memasang wajah datar dan kesalnya itu membuka pintu dengan tangan bersidekap di depan dadanya.

"Ngapain lo ke sini?"

Bintang meringis, sedikit mengumpati kakak sepupu-yang bahkan lebih muda dari Bintang empat tahun itu di dalam hati.

"Gue nyari mama lo, dia ada di mana?"

"Di dalem, ada urusan apa?"

Bintang ikut bersidekap dada menatap laki-laki yang tingginya nyaris menyamai tingginya tersebut. Tatapan mereka sama-sama melemparkan aura ketidaksukaan, permusuhan yang jelas sekali berakhir dengan Akasa yang menghela napas karena jawaban Bintang detik berikutnya.

"Gue ada perlu sama Beliau, lagian lo ngapain di rumah terus, hm? Nggak keluar, jadi anak kuper gitu isinya di rumah terus?"

Akasa menyeringai. "Setidaknya, gue punya cap anak baik-baik yang nggak bakal lo punya. Alvaro!"

Bintang mendengus, tapi Akasa sudah menyingkir dan membiarkan saudaranya itu masuk. Membiarkan Bintang bertemu dengan mamanya secepat mungkin agar urusan dia kelar lalu pulang. Akasa muak melihat Bintang ada di sana.

Bintang melewati Akasa dan mencari keberadaan Cia. Hingga di ruang santai itulah ia menemukan Bastian-kakek Akasa-dan Omnya-Leo-yang melihatnya dengan alis terangkat sebelah. Cia sendiri sudah berdiri dan berjalan menghampirinya.

"Varo, kapan ke sini kamu Nak?" tanya Cia dengan nada perhatiannya seperti biasa.

Akasa yang ada di belakang Bintang langsung mendengus mendengarnya, sebelum melewati mereka dan menghampiri Papa serta Kakeknya di sana.

"Baru aja, Tan! Varo mau nanya sesuatu aja sama Tante!"

Cia mengangguk-angguk paham. "Yaudah ke ruang tamu aja yuk!"

Cia menggandeng keponakannya itu ke sebuah ruangan lain sebelum keduanya memulai pembicaraan serius. "Jadi, ada apa?"

"Tante punya kerjaan nggak, buat Varo yang di Indonesia aja gitu. Varo jadi pengangguran dan rasanya nggak enak."

"Hm... Ayahmu nggak masukin kamu ke perusahaannya?"

Bintang dengan sangat terpaksa harus menggeleng. Ayahnya kejam pada Bintang sejak ia kuliah. Ayahnya seperti tengah meminta Bintang menjadi mandiri begitu. Jadi, pria paruh baya itu nyaris terlihat seperti Ayah yag tidak peduli pada anaknya.

"Nggak Tan, beliau nyuruh Varo cari kerjaan aja di luar dulu buat pengalaman. Mau minta gabung sama Bunda juga nggak bisa," adunya seperti seorang anak kecil yang mengadu pada ibunya.

"Nggak bisa kan Fisha jalannya di butik. Hm... sepertinya ada kalau Bintang mau. Jadi Guru Matematika di sekolahnya Kakek," usulnya yang membuat mata Bintang memelotot ke arahnya.

"Jadi guru?"

Cia menganggukkan kepalanya. "Hanya sementara soalnya guru mapel itu lagi cuti melahirkan, gimana? Daripada tante kasih ke guru-guru yang lainnya?"

Bintang masih berpikir ketika mengatakan balasannya. "Tapi kan, Bintang bukan orang baik Tante. Belum lagi ijazah Bintang, kan-"

"Tenang aja, biar Tante yang urus semuanya."

Dengan sangat terpaksa laki-laki itu harus mengangguk. Jadi guru bukanlah pekerjaan yang salah, hanya saja ... itu bukan jurusan Bintang sewaktu kuliah.

Between Lust and SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang