Sayup-sayup dari kejauhan, alunan musik dari kelompok penari keliling terdengar. Beberapa dari mereka memukul-mukul gendang mengiringi gadis penari di tengah-tengah meliukkan tubuhnya. Rife tersenyum sedangkan Var hanya mengangkat alis. Var tidak heran melihat teman seperjalanannya itu terseret daya tarik si Penari yang cantik.

Rife kemudian meninggalkan Var sendirian di tengah jalan pasar yang ramai. Saat itulah derap kaki orang yang berlari mengagetkan laki-laki itu.

Badan mungilnya melesat tunggang langgang menubruk gerobak dan tumpukan jerami. Si Pemilik gerobak lantas memaki. Suasana tambah gaduh ketika dia juga tidak sengaja menyandung meja yang menopang ayam-ayam dengan kaki terikat. Bulu-bulu berterbangan. Biji-biji kacang merah tumpah ruah. Kuali berisi ikan jatuh dan pecah.

Var bergerak mundur. Dia tidak ingin terlibat dalam kekacauan semacam itu. Setelan bajunya sudah cukup lusuh tanpa perlu dikotori lagi.

Tapi rupanya kesialan bisa menjamah Var. Anak tadi melihat sekilas ujung pedang yang terselip di balik jubahnya lantas berlari menyongsong laki-laki itu. Var membeliak, tidak sempat menyingkir saat bocah itu menubruk tubuhnya juga. Kepalanya yang kecil membentur dada Var yang berbalut pakaian pelindung.

"Duh! Duh Duh!" Dia mengerang. Tiba-tiba tersentak, dia langsung berseru. "Tolong aku, Tuan!"

"HEI BOCAH TENGIK!! KEMARI KAU!!" seruan kasar membuat anak itu gelagapan.

Setelah sempat terjatuh ke belakang, Var bangkit berdiri sedangkan anak tadi langsung bersembunyi di punggungnya.

Bandit? Var mengernyit saat melihat penampilan pria-pria yang mengejar si Bocah. Besar tubuh mereka mungkin tiga kali dari tubuh mungil di belakangnya. Tanpa memedulikan Var, mereka tanpa ragu mencoba meraih pergelangan tangan si Bocah. Anak itu menjerit. Dia berhasil ditarik karena Var yang sedari awal tidak ingin terlibat, membiarkan mereka membawanya. Lagipula penampilannya jauh lebih lusuh ditambah kakinya telanjang dan kering. Sebutan pengemis cocok untuknya. Mungkin dia sudah mencuri makanya sampai dikejar begitu.

"Berikan padaku!!"

"Lepas! Lepas!!" Dia tetap mempertahankan sesuatu yang dia genggam erat di balik jubahnya. "Aku tidak mencurinya! Ini milikku!!"

"Gelandangan sepertimu tidak mungkin punya sesuatu seperti itu! Kau tahu berapa uang yang bisa didapat dengan menjualnya?"

Mereka mengeroyoknya. Lima orang sedang mengepung seorang anak. Salah satu dari mereka bahkan mendorongnya hingga tengkurap di atas tanah. Namun si Bocah tetap keras kepala dengan mengeratkan sesuatu di perutnya. Mulai tidak sabar, tubuh anak itu tiba-tiba diangkat. Yang lain mencoba mengoyak jubahnya.

Mata Var melebar. Laki-laki itu berdecap keras sebelum menghantam leher pria yang mengangkat bocah tadi. Tubuh kecilnya terlempar ke belakang Var. Kini laki-laki itu dihadapkan pada gerombolan bandit yang makin beringas.

Var bersiap menarik pedangnya ketika tiba-tiba seseorang melompat ke tengah-tengah mereka. Tubuhnya berputar, menjeregal kelima bandit hingga terjengkang. Tangan kanannya memegang belati di mana sisi yang tumpul menempel dekat nadinya. Kemudian dalam sekali ayunan, belati itu menciptakan luka menganga di kaki masing-masing mereka. Ketakutan dengan geraknya yang seperti hantu itu, para bandit tersebut kontan melarikan diri.

Tubuhnya tinggi—mungkin sama dengan Var. Dia masih berdiri memunggungi Var saat memasukkan belatinya ke balik saku celana. Ketika dia menoleh, Var mendapati warna hijau zamrudnya menyorot.

Tapi kontak mata keduanya tidak berlangsung lebih dari satu detik. Laki-laki itu beralih melewatinya, mendekati bocah yang terjatuh di belakang Var.

"Aku tidak apa-apa! Sungguh!" kata anak itu meski tidak ada yang bertanya. Var agak mengerjap saat dia membuka tudung mantelnya yang besar—saking besarnya sampai-sampai wajahnya tidak kelihatan jelas.

Seorang gadis. Rambut hitam legamnya tergerak berantakan membentuk gulungan benang kusut. Wajahnya juga penuh debu dan tanah yang menempel.

"Terimakasih sudah menolongku, Tuan," katanya kemudian pada Var.

Var lagi-lagi mengerutkan kening. Laki-laki di sebelahnyalah yang menghajar bandit-bandit tadi. Var tidak berbuat banyak.

"Tampilanmu itu..." Dia mengamati penampilan Var dari kepala sampai ujung kaki. "Jangan-jangan kau pengembara?"

Var tidak menjawab. Merasa tidak punya urusan dengan keduanya, laki-laki itu kemudian berbalik pergi. Namun sebelum Var melangkah, gadis tadi mengatakan sesuatu sampai-sampai Var bergeming.

"Sepertinya kau tahu kita akan pergi ke tempat yang sama." Gadis itu tersenyum saat Var memandangnya lagi. "Siswa baru akademi Gihon. Apa kau calon ksatria?"

"Sejak kapan Gihon mengajar perempuan untuk jadi ksatria?"

Gadis itu sontak tertawa. "Quon," sebutnya. "Namaku Quon. Aku tidak dimasukkan di divisi ksatria. Namamu?"

Pandangan Var yang tidak bersahabat mengurungkan niat Quon untuk menyalaminya. Sebaiknya Var harus buru-buru menemukan Rife sebelum tersesat lebih jauh. Tidak menggubris Quon, Var pun benar-benar pergi meninggalkan gadis aneh itu. Setelah sosoknya menghilang di balik kerumunan orang-orang pasar, senyum yang menghiasi wajah Quon lenyap.

"Bangsawan Kith.." Dia menggumam. "Berani sekali mereka menginjakkan kaki di sini."

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now