Mungkin bagi Genta ini masuk akal, tapi bagi Raya ini aneh sekali.

"Aku hamil Genta, kamu tau kan?"

Genta mengangguk, "Aku tau."

"Aku nggak bisa!" Raya menggeleng tegas.

"Dengar dulu, Raya. Dengar aku dulu," Genta meraih tangan Raya dan menggenggamnya di antara kedua tangannya, "Aku mencintaimu dan bayi ini. Lagipula bayi ini nantinya akan membutuhkan seorang ayah. Tidak selamanya kamu dapat berperan ganda. Aku juga nggak ingin orang lain akan menggunjingkan kamu dan bayimu. Suatu saat nanti anak ini juga akan bertanya siapa ayahnya. Semakin besar usianya dia akan semakin mengerti dan dia akan menanyakan hal itu. Dia pasti akan bertanya, kenapa dia tidak memiliki seorang ayah sementara teman-temannya punya."

"Dulu aku dapat menerima hal itu, Genta. Aku tidak pernah tau seperti apa wajah ayahku, tapi ibu selalu jujur tentang apa pun termasuk tentang ayahku dan waktu itu aku dapat menerimanya. Dan aku rasa anakku nanti juga akan dapat menerimanya."

"Tapi lihatlah apa yang terjadi padamu sekarang. Aku rasa kamu juga tidak ingin hal ini terjadi pada anakmu nantinya bukan? Paling tidak Ra, anak ini berhak mendapatkan keluarga yang utuh."

"Aku akan melahirkan anak dari laki-laki lain Genta, mengertilah."

"Tidak," Genta memegang wajah Raya dan menatap mata gadis itu, "Menikahlah denganku dan anak ini akan menjadi anak kita. Anak kita berdua."

Air mata Raya mengalir, "Tapi ini tetap nggak mungkin. Bagaimana dengan orang tuamu?"

Genta menghapus air mata Raya dengan lembut, "Mereka sudah tau dan mereka tidak keberatan."

"Bagaimana mungkin?" tanya Raya heran.

"Orangtuaku sangat demokratis dan yang terpenting bagi mereka adalah kebahagiaanku. Dan Raya, kebahagiaanku yang terbesar adalah bersama kamu. Itu saja."

"Tapi aku mencintai laki-laki lain."

"Ya, tapi dia nggak disini sekarang, akulah yang ada di sini."

"Tapi dia ada di sini," ujar Raya sambil menunjuk dadanya, "Mas Fatta selalu ada di sini."

"Itu tidak wajar Raya, dia bahkan meninggalkan kamu dan mungkin sudah melupakan kamu."

"Itu urusanku dan jangan pernah bilang dia melupakan aku!" teriak Raya frustasi.

"Raya…"

Raya menjauh dari Genta dan menatapnya dengan marah, "Aku sudah jujur dengan kamu dari dulu. Aku sudah mencintai Mas Fatta selama bertahun-tahun dan selamanya akan begitu. Aku nggak akan pernah mencintai kamu atau orang lain sekali pun. Aku sudah mengalami kisah cinta yang sangat indah dan itu sudah cukup untuk sisa hidup aku. Tidak ada yang akan bisa melebihi apa yang telah aku alami dan aku nggak akan menggantikannya dengan apa pun yang kurang dari itu. Maafkan aku kalau kamu merasa jatuh cinta dengan aku, tapi aku nggak mencintai kamu. Walau pun Mas Fatta sudah nggak bersama aku lagi, bukan berarti aku bisa semudah itu melupakan dia dan menggantikannya dengan kamu. Lagipula Genta, kita ini sudah berbulan-bulan tidak bertemu dan tiba-tiba saja kamu mengetuk pintu apartemenku dan mengajakku menikah. Aku sungguh tidak bisa mengerti jalan pikiranmu."

"Aku sudah berusaha untuk melupakan kamu Raya," ujar Genta pelan, "Tapi aku terus memikirkan kamu sepanjang waktu dan aku nggak pernah bisa menggantikanmu dengan orang lain, walau pun aku sudah mencobanya."

"Genta sudahlah…"

"Biarkan aku menyelesaikan kalimat aku. Kamu sudah tau perasaanku padamu kan?"

Raya mengangguk.

"Aku mencintaimu, Raya dan aku sungguh-sungguh dengan ucapanku itu."

"Tolong jangan desak aku lagi, Genta. Aku tidak bisa."

"Tidak bisa apa?"

"Tidak bisa terlibat dalam hubungan cinta lagi. Satu kali jatuh cinta sudah menghancurkan aku dan aku nggak ingin mengulangi kesalahan yang dulu sudah aku buat."

"Menikah bukan kesalahan, Raya. Itu justru hal paling masuk akal untuk keadaanmu saat ini."

"Aku nggak bisa mengatakan apa-apa lagi, Ta."

"Katakan, ya."

Raya menggeleng, "Aku nggak mencintai kamu, Genta."

Genta memandang lurus ke depan, "Aku tau. Aku juga tau kamu masih mencintai Fatta."

Raya menyentuh lutut Genta dengan lembut hingga Genta menatapnya, "Apa kamu berharap dengan pernikahan suatu saat nanti aku berubah pikiran?"

"Cobalah, Raya. Tidak ada salahnya memberiku kesempatan."

Raya mengangkat tangannya, "Aku nggak akan mencintai laki-laki mana pun seperti aku mencintai Mas Fatta."

"Aku tetap mencintaimu."

"Kamu nggak harus menyia-nyiakan hidup dan masa depanmu untukku, Ta. Untuk apa kamu menikahi perempuan yang tidak mencintaimu?"

"Biar aku saja yang memikirkan kenapa aku melakukannya."

"Seandainya pun aku mau menikah denganmu, aku tidak akan bisa menjadi istri kamu yang seutuhnya. Aku tidak akan bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri."

"Kita akan memikirkannya nanti," sahut Genta cepat.

"Kamu laki-laki yang menarik."

"Terimakasih," Genta tersenyum senang.

"Maksudku beberapa bulan lagi atau mungkin satu minggu atau malah mungkin sepulangnya dari sini, kamu akan bertemu gadis yang menarik dan mencintai kamu. Gadis yang amat pantas menjadi istri kamu."

"Aku nggak ingin mencari-cari lagi, Raya, karena gadis yang aku cintai adalah kamu."

"Genta…"

"Dengar, Ra," kata Genta dengan sabar, "Gadis itu boleh muncul kapan saja, tapi aku sudah menemukan seseorang yang ingin kujadikan sebagai pendampingku. Wanita yang aku ingin selamanya bersamaku. Wanita yang akan tua bersamaku, yang akan merawatku ketika aku sakit, yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. Dan itu kamu, Raya."

"Tapi ini salah…"

"Tidak, ini tidak salah. Kita akan memiliki rumah kita sendiri dan kita akan menjadi satu keluarga. Keluarga kecil yang bahagia."

"Semua ini tak masuk akal."

"Sangat masuk akal. Gagasan untuk memiliki keluarga sangat masuk akal, Ra. Aku ingin menjagamu dan bayimu."

Entah darimana asalnya gagasan aneh itu, pikir Raya heran. Bagaimana mungkin laki-laki yang menggengam dunia ditangannya seperti Genta melamar perempuan hamil yang jelas-jelas bayi itu bukan miliknya.

"Raya…"

Raya menoleh menatap Genta.

"Aku serius dengan ucapanku."

"Entahlah, aku bingung," ujar Raya dengan putus asa.

"Aku terlalu sering berhubungan dengan gadis-gadis Raya, tapi belum satu kali pun aku melamar mereka kecuali pada kamu. Jadi kali ini aku benar-benar serius. Aku tau kamu telah banyak mengalami hal-hal buruk belakangan ini dan lamaran ini mungkin sedikit mengejutkanmu. Aku nggak meminta kamu menjawabnya sekarang. Tapi berjanjilah untuk memikirkannya. Pikirkan arti pernikahan kita bagi kamu dan bayimu. Pikirkan juga bagi orang-orang yang mencintaimu. Teman-teman dan juga bagi diriku sendiri. Kumohon pikirkanlah masak-masak."

TBC

A Homing BirdWhere stories live. Discover now