SATU MALAM DI KLOROFIL

Start from the beginning
                                    

Tatapan Gamma justru tertumbuk pada pergelangan tangan dan lengan pria itu. Jari-jari tangannya panjang, kokoh—meski sudah saatnya dia memotong kuku, batin Gamma—sedangkan rambut-rambut yang cukup lebat memenuhi lengannya. Ragu menyusupi Gamma, berimpitan dengan pertanyaan yang tanpa henti berkecamuk dalam benaknya. Dengan satu helaan napas—setelah menimbang cukup lama—Gamma menerima uluran tangan itu dan menyebutkan namanya, "Gamma."

"Boleh saya duduk di sini?"

Gamma mengangguk, lantas meneruskan kembali kegiatannya melipat kertas yang sempat tertunda. Pun, saat pramusaji membawakan satu porsi crème brûlée pesanannya, dia sekadar mengucapkan terima kasih dan menelantarkan makanan penutup yang biasanya langsung dia lahap. Minatnya seperti ikut luntur bersamaan dengan rintik yang masih belum saja berhenti.

"Kenapa tidak dimakan?"

"Tanggung," jawab Gamma singkat. 

Setelah menyelesaikan dua origami, Gamma dengan enggan menarik ramekin* di hadapannya mendekat. Begitu tangannya memegang sendok, dia mulai memukul pelan permukaan crème brûlée sebelum menyendok dan menyuapkannya ke mulut. Gamma sepertinya lupa, ada pria lain yang duduk di seberangnya, memperhatikan aksinya dengan saksama. Apa yang dilakukannya menimbulkan senyum simpul pada bibir Alta.

"Kenapa tersenyum?" tanyanya sedikit galak saat tiga suapan sudah berpindah ke dalam mulutnya. Dia memergoki Alta menyunggingkan bibir ketika mukanya terangkat.

"Saya hanya tidak bisa menentukan apakah kamu sedang kesal, bosan, atau keduanya. Apakah kehadiran saya mengganggu? Saya bisa pergi kalau memang itu yang kamu inginkan."

Gamma mengedikkan bahu sebelum berujar, "Keduanya. Plus emosi lainnya. Emosi yang cuma bisa kamu rasakan setiap kali kisah cintamu berakhir. Aku yakin kamu pasti tahu apa yang aku maksud."

Gamma sengaja mengalihkan tatapannya dari Alta saat mengutarakan serentetan kalimat itu. Dia sendiri tidak tahu kenapa harus menjelaskan kepada pria yang baru dikenalnya tentang situasi hatinya. Bahkan, belum genap setengah jam mereka bertukar nama. Dengan cepat, Gamma meletakkan sendoknya sebelum kembali meraih satu lagi kertas lipat.

"Keberatan kalau saya ambil foto beberapa origami ini?"

Pertanyaan Alta berhasil membuat Gamma mengangkat wajah. Dia sudah berancang untuk mengeluarkan uneg-uneg yang dipendamnya jika Alta menyambut ucapannya tentang patah hati dengan nasehat atau pertanyaan lain. Ketika yang dimintanya justru izin untuk mengambil foto origami buatannya, Gamma tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

"Pilih sendiri mana yang menurut kamu bagus," jawabnya setelah terdiam sekian detik.

"Terima kasih."

Pandangan Gamma kemudian dipenuhi Alta yang memilih empat origami dengan empat motif kertas lipat yang berbeda—ada tujuh motif kertas origami yang dipakainya—dan memperhatikan pria di hadapannya mengatur dan menatanya sedemikian rupa. Tangan Gamma yang sedang memegang kertas untuk membuat origami ke-18, terdiam begitu menyaksikan Alta membuka lensa kamera. Selama beberapa menit, Gamma terdiam.

Mata Gamma mengamati Alta. Kata tampan sepertinya terlalu berlebihan untuk menggambarkan sosoknya, tetapi menggunakan biasa-biasa saja terdengar sangat merendahkan. Keningnya lebar, rambutnya sedikit panjang, tetapi kulitnya bersih. Tampilan Alta mengingatkan Gamma pada satu vokalis salah satu band terkenal pada dekade 90-an. Di sela-sela pengambilan foto, Alta beberapa kali mengangkat wajah demi menatap Gamma dan tersenyum tipis. Sayangnya, Gamma masih belum mampu membalas aksi Alta dengan senyuman yang sama lebarnya. Setelah cukup lama, Gamma menyaksikan Alta melepaskan kamera yang lumayan besar itu dari lehernya dan meletakkannya di atas meja.

THE SHADES OF RAINBOWWhere stories live. Discover now