BAB 2 - Luka Lama

2.5K 146 0
                                    

Netha dan Fikri akhirnya sampai di rumah, mereka masih dengan sisa tawanya masuk ke dalam.

"Ish Abang! Please deh, Netha tuh gak suka ataupun ada rasa sama Nathan, dia cuman temen baru Netha." ucap perempuan itu sambil membuka pintu, "Assalamualaikum!" ucapnya lagi.

"Assalamualaikum," ucap abangnya juga, "Oh cuman temen ya? dulu Abang sama mantan Abang juga temenan." tambahnya.

"Apasih Bang, dari tadi gak capek apa ledekin Netha terus?!" abangnya hanya tertawa, "Btw, rumah sepi banget sih?" kata Netha.

Mereka lalu bergerak ke dapur untuk mengambil minum, tapi saat mereka melewati kamar orang tuanya, seperti ada yang menangis disana. Saat Fikri ingin memeriksa, suara Papa yang keras menghentikan langkahnya.

"Kamu itu! Saya kerja pulang malam juga untuk menghidupi kalian!" teriak Papanya.

Netha mengambil langkah mundur, dan saat itu juga rintihan Mama nya terdengar, "Tapi Mas, apa artinya uang, kami butuh waktunya Mas, Netha sama Fikri tumbuh besar tanpa kasih sayang Papa nya, Mas gak kasihan?" katanya.

Netha mundur lagi.

"Itu artinya kamu gak percaya sama saya! Saya menyayangi mereka dengan cara saya sendiri! Dan kamu nggak pernah mengerti itu!" teriak Papa nya lagi.

"Tapi mereka harus disayangi dengan caranya mereka, itu yang mereka butuhkan!" kata Mama nya tak kalah tinggi.

Plak!

Tepat saat tamparan itu terdengar, Netha berlari keluar. Fikri bimbang, akhirnya ia mengejar Netha lebih dulu. Fikri menemukan Netha menangis tersedu disana, di halaman rumah. Fikri langsung memeluknya.

"Aku pikir dengan kepindahan kita ke kota baru, Papa sama Mama bakalan akur. Taunya sama aja kan!" ucapnya sambil menangis.

Fikri hanya diam. Nyatanya, dia pun merasakan hal yang sama, ia memeluk luka itu lebih lama dari Netha, dan disaat dia tengah merasakan luka paling parah ia harus jadi yang paling tegar demi menenangkan adiknya.

Ini bukan hal yang mudah baik bagi keduanya.

Dalam hati kecil mereka ingin Papa nya hadir, tapi kalau kehadirannya hanya membuat luka lagi dan lagi, mereka ingin Papa nya enyah saja.

"Neth, ke kafe yuk?" tawar Abangnya. Netha tak menjawab, pandangan matanya kosong, "Ayo, Neth." tambahnya.

Dan mereka pergi.

Tak ada yang berbicara selama perjalanan. Mereka hanyut dalam rasa masing-masing. Sesekali Netha melihat ke arah Fikri, berpikir kenapa Abangnya bisa setegar itu menghadapinya.

Padahal aku ingin mencabik-cabik hatiku sendiri, Ya tuhan kenapa kau ciptakan hati jika hanya untuk dipatahkan?, pikir Fikri.

"Bang, kita mau kemana?" tanya Netha.

"Kafe biasa." Ucap abangnya singkat.

"Tapi Netha gak laper bang, gak haus juga." Abangnya langsung diam.

"Abang marah ya sama Papa?" tanya Netha polos.

Fikri tetap diam, menahan semua amarahnya, egonya, semuanya. Kenapa adiknya nggak ngerti situasi seperti ini sih?

"Bang?" panggil Netha.

"Nggak kok." Jawab fikri dingin.

"Tapi tadi kan abis ketawain Netha, terus tiba tiba-

"Nggak semua orang ketawa itu bahagia kan? Bisa aja itu alibi buat nutupin rasa sedihnya." Ucap Fikri.

Netha langsung diam, harusnya Netha tak perlu menuntut penjelasan kalau Fikri berpura-pura tegar. Suasana di mobil semakin canggung sampai mereka tiba di tempat tujuan. Mereka kambali pada rasa masing masing. Menyembunyikan, lalu menyembuhkannya sendiri, sampai orang lain di masa depan menggantikan sedihnya dengan kebahagiaan tak terduga.

N a t h a n n e t h a

NATHANNETHAWhere stories live. Discover now