"Dan kalau begitu Genta, kenapa tiba-tiba kamu ingin menikahi gadis yang baru saja di tinggal pergi pacarnya. Papa rasa ini jelas kesalahan. Mungkin dia menerima lamaran kamu karena sedang terluka dan belum bisa berpikir jernih," kata Pak Anindya sambil mengambil rokok, menyalakan pemantik dan mulai menghisapnya.

"Papa!" protes Bu Anindya, "Merokok harus di luar rumah."

Pak Anindya tertawa lalu mematikan rokoknya cepat.

"Dan Mama pikir, Ta, gadis itu masih belum berubah pikiran tentang perasaannya dengan kamu. Tidak ada jaminan ia belum melupakan laki-laki itu dan Mama tidak ingin anak Mama terluka jika Raya tidak bisa membalas perasaanmu."

"Memang," Genta mengangguk setuju, "Dia bahkan belum tau kalau aku akan melamarnya."

"Apa??" wajah kedua orang tua Genta melongo tidak percaya.

"Iya, dia belum tau dan aku bahkan belum bertemu Raya beberapa bulan ini, Ma, Pa."

"Dan kamu akan menikahinya? Dia pasti menolak," sahut Bu Anindya cepat.

"Belum tentu."

"Jadi kenapa pernikahan yang gadis itu sendiri belum tau akan dilamar, sepertinya terkesan tergesa-gesa?" tanya Pak Anindya.

"Karena Raya sedang hamil."

"Hamil?!?" teriak Bu Anindya sementara suaminya hanya sempat membuka mulutnya sedikit lalu mengatupkannya cepat-cepat.

"Ya, Raya hamil."

"Bayi itu milik siapa?" tanya Pak Anindya cepat, "Kamu bilang dia baru ditinggalkan laki-laki itu. Itu artinya itu bayi laki-laki itu kan?"

Genta mengangguk.

"Genta, Papa pikir kamu nggak harus menikahi gadis itu hanya untuk emosi sesaat. Ada baiknya kamu berpikir ulang mengenai masalah ini. Pernikahan bukan hal kecil dan Papa nggak ingin kamu menikah hanya karena perasaan iba atau sejenisnya. Papa ingin kamu benar-benar yakin dengan pernikahan kamu dengan siapa pun perempuannya. Menikah dengan gadis mana pun bagi kami berdua tidak masalah, tapi kami sebagai orang tua tidak ingin kamu menikah tanpa pertimbangan dan terkesan tergesa-gesa. Lagipula kami nggak ingin kamu mengorbankan masa depan kamu demi gadis yang belum tentu mencintai kamu."

"Pa… aku nggak pernah seyakin ini dalam mengambil keputusan. Aku sudah memikirkan hal ini berulang kali dan ini memang keputusan paling benar yang pernah aku ambil dalam hidup aku. Aku mencintai Raya, Pa. Aku nggak pernah bisa mencintai orang lain seperti aku mencintai, Raya. Kalau soal bayi Raya, itu sama sekali bukan masalah. Aku mencintai Raya dan aku juga akan mencintai bayi itu. Aku hanya merasa kalau saat ini aku harus melindungi dan menikahi Raya. Dan itu adalah satu-satunya jalan. Aku sudah pernah kehilangan Raya dan sekarang kesempatan datang di depan aku untuk memiliki Raya, aku nggak bisa membiarkan semuanya lewat begitu saja. Raya itu segalanya buat aku, Pa."

"Baiklah Nak, tapi yang menjadi masalah adalah gadis itu sendiri tidak tau kamu akan melamarnya kan dan belum tentu dia juga akan mau menerima ajakan kamu untuk menikah bukan?"

"Iya Papa," Genta mengangguk, "Aku baru akan bicara dengan dia besok, makanya sekarang aku bicara dengan Mama dan Papa. Aku ingin Mama dan Papa tau lebih dulu masalah ini. Aku ingin kalian mendukung aku. Jujur saja Ma, aku capek begini-begini terus. Aku ingin hidupku berubah ke arah yang lebih baik."

"Papa senang kamu sudah mau jujur dengan kami berdua dan paling tidak melibatkan kami dalam hal ini. Seperti yang tadi Papa katakan, bagi kami berdua, istri kamu adalah pilihan kamu sendiri seperti apa pun keadaannya. Pernikahan kamu adalah tanggung jawab kamu. Kami sebagai orang tua hanya dapat memberi masukan dan yang menentukan pada akhirnya adalah kamu sendiri. Yang terpenting bagi kami sebagai orang tua, kamu bisa hidup bahagia, bisa menjadi lebih baik, bisa menjadi kepala keluarga dan pemimpin yang baik pula. Tapi, apa tidak sebaiknya kamu memikirkan kembali masalah ini, Genta? Bukan karena ia sedang hamil dan tidak mencintai kamu. Tapi bagaimana dengan diri kamu sendiri. Ini masalah besar, Nak. Papa tidak bisa menyetujui atau menolak gadis yang bahkan tidak pernah Papa temui, tapi setidaknya berpikirlah kembali. Jangan menyesalinya di kemudian hari," ujar Pak Anindya panjang lebar sembari menatap puteranya dalam-dalam.

A Homing BirdWhere stories live. Discover now