11. Brother and Sister

Start from the beginning
                                    

"Iya, iya... thank you deh buat niat baiknya. Tapi masalahnya aku nggak jadi pulang hari ini, Kak. Makanya aku menelfon sepagi ini buat ngasih kabar supaya Kak Lina nggak mempersiapkan hal yang sia-sia untuk menyambut kepulanganku. Dan ternyata benar kan, dugaanku."

"Lho, kamu kok nggak jadi pulang hari ini, Rei? Memangnya kenapa?" tanya Erlina sedikit kecewa.

"Ehmm... karena satu-dua hal acaranya diperpanjang oleh pihak panitia, Kak."

"Wah, syukurlah! Kakak pikir kamu terciduk masalah narkoba, Rei, hihihi..." Erlina kembali terkekeh.

"Kakak ini yah, orang ngomong serius malah dibecandain. Didoain yang jelek lagi, amit-amit jangan sampai deh, Kak!"

"Ya, baguslah kalau kamu nggak mau sampai hal itu terjadi. Jadinya kakak bisa tenang di sini. Ingat, jangan sekali-kali terlibat sama narkoba. Kakak nggak mau harus menjemputmu di kantor polisi atau di rumah sakit, ngerti!"

"Siap, Bos!" jawab Reihan mantap.

"Anak pintar! Ya sudah, kakak mau mulai masak dulu nanti keburu kesiangan ke kantor."

"Lho, kok masih lanjut masak sih, Kak?" tanya Reihan sedikit bingung. "Kan, aku nggak jadi pulang hari ini. Memangnya Kak Lina kuat menghabiskan masakannya sendiri? Belum lagi, kakak sekalinya masak biasanya cukup buat hajatan satu kampung. Sampai-sampai Reihan terpaksa harus makan menu yang sama, pagi-siang-malam, selama tiga hari berturut-turut karena nggak baik membuang makanan."

"Yah mau gimana lagi, Rei, kakak sudah terlanjur membeli bahannya. Kelamaan disimpan dalam kulkas juga nggak bagus. Tapi tenang saja, biar kakak nanti minta tolong sama Mas Bram untuk mengambil masakannya di rumah. Biar dibuat makan siang bersama di kantor dengan para teknisi dan karyawan bengkel yang lain."

"Ya sudah, kakak atur saja deh. Semoga besok nggak ada yang ijin sakit perut nggak masuk kantor karena keracunan, hehehe..." Reihan gantian meledek.

"Kurang ajar! Memangnya pernah yah, kamu sampai mencret-mencret gegara makan masakan kakak, hah? Nggak, kan! Yang ada kamu itu sakit perut kekenyangan karena kebanyakan nambah."

"Dih, becanda kali, Kak, hehehe... Masakan kakak the best kedua deh di dunia setelah mendiang mama."

Erlina mendadak terdiam, tidak membalas.

"Halo... halo, Kak. Kok diam saja?" tanya Reihan sedikit khawatir. "Reihan salah bicara yah, maaf..."

"Nggak papa kok, Rei... kakak hanya mendadak teringat sama alm. mama. Mungkin kalau mama masih ada sekarang, beliau pasti senang sekali akan segera menjadi seorang nenek," lirih Erlina dengan mata berkaca-kaca. Lalu menghirup nafas dalam-dalam dan melepaskannya melalui mulut. "Tapi sudahlah, yang penting sekarang kakak masih punya adik yang sangat kakak sayangi dan calon baby yang semoga nggak bandel kayak pamannya."

Reihan tersenyum masygul, hatinya tersentuh. "Makasih yah, Kak, selama ini sudah menyayangi dan mengurus Reihan menggantikan posisi mama dan papa. Reihan sayang banget sama Kak Lina."

"Nggak perlu berterima kasih, Rei. Kakak tulus dan ikhlas. Itu sudah kewajiban kakak sebagai saudara yang lebih tua. Kakak juga sayang banget sama kamu, Rei." Erlina menitikkan air mata, tapi buru-buru dia hapus dengan punggung tangannya. Dia nggak mau Reihan jadi kepikiran dan tidak tenang selama liburannya di Bali. Wanita itu sudah berjanji pada dirinya sendiri akan selalu menjaga dan membahagiakan adik semata wayangnya, menggantikan posisi kedua orang tua mereka. "Aduh, kenapa malah jadi pakai acara mellow-mellowan gini, sih? Sudah ah, sekarang kakak mau masak dulu. Selamat bersenang-senang menikmati liburanmu, Rei! Bye..."

"Eh, tunggu! Jangan ditutup dulu, Kak!" potong Reihan cepat.

"Ada apa lagi, Rei? Kapan kakak masaknya ini kalau kamu ngajak ngobrol terus?"

Superstar (BXB)Where stories live. Discover now