5. Bibit-Bibit Cinta

6.7K 508 56
                                    

Seringkali emosi meluapnya jauh lebih cepat mendahului pikiran. Persis seperti yang sedang dialami Reihan sekarang. Pemuda ganteng itu langsung menepuk jidatnya sendiri begitu langkah kakinya berhenti di depan pintu masuk bungalow Rahadian.

"Waduh... tolol! Kenapa tadi aku nggak minta kunci cadangannya pada Bella? Ah, sialan... " Sambil terengah-engah mengatur nafas yang hampir putus, Reihan mulai merutuki kecerobohannya.

Jika kondisi sudah seperti ini, apa yang bisa dilakukannya selain mencoba mengetuk pintu? Siapa tahu ada yang membukakan. Mungkin dia masih sempat membatalkan niat si pemilik kamar untuk berbuat nekat. Semoga saja masih belum terlambat, Reihan berharap dalam hati.

"Rahadian, tolong bukakan pintunya! Aku tahu kamu di dalam. Kamu jangan berbuat aneh-aneh, ya!"

Serangkaian ketukan pertama, tidak mendapat respon sama sekali dari sang penghuni kamar.

"Hei... Rahadian, segera bukakan pintunya! Aku mau masuk, sudah nggak tahan nih! Aku kebelet poop!"

Ketukan yang kedua pun tampaknya juga tidak menghasilkan apa-apa.

"Woyy... artis kampung, buruan buka pintunya! Aku sudah benar-benar nggak kuat! Please, cepat buka pintunya!"

Meski semakin kuat Reihan mengetuk badan pintu, tetap saja tidak kunjung terlihat tanda-tanda kehidupan di baliknya.

"Astaga... sepertinya aku terlambat! Apa dia sudah mati?"

Merasa khawatir dan sedikit panik asumsinya itu bakal jadi kenyataan, Reihan menambah tenaga pada kepalan tangannya hingga ketukannya pun menjadi gedoran yang sangat berisik. Untung saja jarak bungalow yang satu dengan yang lain lumayan jauh, sehingga tidak akan mengusik ketenangan penghuni hotel lainnya.

Menit demi menit berlalu, tampaknya usaha pemuda itu sia-sia karena tetap tidak ada respon dari si pemilik ruangan.

Tapi Reihan masih belum mau menyerah, dia ingin mencoba segala kemungkinan yang bisa dia lakukan. Siapa tahu masih ada celah untuk menyelamatkan seseorang yang Reihan sendiripun tidak sadar mulai kapan dia jadi merasa peduli padanya, meski harapannya tipis. Setidaknya dia sudah berusaha sekuat tenaga dan tidak perlu menyesal jika sampai kemungkinan terburuk menimpa si artis kampung yang baginya biasa-biasa saja itu.

Reihan segera berlari kencang menyusuri sisi kolam renang menuju balkon depan ruangan. Lalu melompati dinding kayu setinggi pinggangnya untuk memasuki area teras balkon. Dia teringat bila jendela kamar Rahadian menghadap ke arah pantai, yang artinya terletak pada dinding bagian depan bangunan.

Namun sayang, sebuah tirai kamar tebal tampak menjuntai ke bawah dari teralis atas, menghalanginya untuk menilik bagian dalam ruangan dari balik kaca jendela. Sial, apa ini artinya dia harus menyerah pada nasib? Tidak, dia masih belum mau putus asa. Pemuda itu lantas menolehkan kepala kesana-kemari sambil memutar otak.

Aha... dia melihat dua buah kursi kayu yang terletak di dekatnya. Kursi yang disediakan pihak hotel bagi para penyewa bungalow untuk menikmati keindahan pantai dari balkon depan sambil mengobrol dengan kerabat ataupun sekadar minum teh.

Tanpa pikir panjang, Reihan segera menyeret salah satu kursi sampai di depan jendela kamar. Lalu dia segera naik ke atas permukaan perkakas kayu itu. Rupanya dia mengincar bagian atas kusen jendela yang tidak tertutup tirai untuk melongok ke dalam kamar. Hmm... lumayan juga idenya, ternyata dia tidak terlalu bodoh cuma sedikit ceroboh.

Sejauh mata Reihan memandang, kamar tersebut kosong tidak berpenghuni. Hanya terlihat ranjang besar yang tidak bertuan dan perabot mewah lain sesuai standar kamar VIP hotel bintang lima.

Superstar (BXB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang