21

1.1K 137 35
                                    

Ratna Anatari

"Kamu terlalu fokus sama Arka dan Candra. Sampai kamu lupa kalo ada aku," kataku datar, sebisa mungkin mengeluarkan aura yang mengintimidasi-yang, omong-omong, susah sekali kulakukan karena aku terlalu imut untuk mengintimidasi orang.

Amarasafira Nur menghentikan langkah, kemudian membalikkan badannya dengan wajah kaget hanya untuk melihatku yang santai bersandar di tembok. Cewek itu berkedip beberapa kali. Mungkin dia gugup.

Hayo... mau apa kamu sekarang? Lari? Ngesot? Melayang? Sebaiknya aku mencegahnya kabur. Toh, itu percuma.

"Nggak usah kabur, ya," peringatku.

Safira ngotot memutar badannya untuk kembali menelurusi jalan. Ya sudah. Pokoknya aku sudah mengingatkan.

Begitu dia berjalan cepat beberapa langkah, sosok manusia yang punya aura pangeran muncul dan menghalangi jalannya. Nah, apa kubilang. Percuma dia berusaha kabur.

Aku dengan sengaja mengawasinya sejak pagi karena tingkat kepoku yang tinggi, bahkan mengikutinya diam-diam demi tahu rute lorong sekolah yang dilewatinya untuk pulang hari ini: lorong Tata Usaha. Lokasi yang tepat. Sekitar pukul setengah tiga, daerah sekitar Ruang Tata Usaha sudah sepi-sepinya.

Salah satu kelebihan Ruang Tata Usaha adalah bisa dicapai melalui dua jalur. Safira dan aku berada di lorong yang tak jauh dari gedung kelas IPS. Karena itu aku menghubungi sosok pangeran ini dan mengajaknya kemari dengan memilih jalur satunya, yakni koridor Ruang Komite, sehingga dia bisa mencegah Safira di sana.

Aku sedikit menjerit dalam hati begitu melihatnya muncul dan mengagetkan Safira dengan wajah ganteng begitu.

Samudra Adika memang keren.

"Hai, Safira," senyum Dika ramah, menambah kadar kegantengannya.

Safira semakin gugup. Nafasnya memburu.

"Kita nggak akan nganu-nganu kamu," ujar Dika berniat menenangkan, tapi malah terdengar ambigu. "Selama kamu nggak banyak tingkah."

Kya!

Kalau aku jadi Safira sih, aku tidak akan banyak tingkah. Kapan lagi dicegat oleh cowok ganteng yang punya senyum kece semacam Dika?

Ah, berhenti, Ratna. Jangan fangirling di saat seperti ini.

"Ehem," aku berdeham mengembalikan secuil wibawa yang kupunya. "Jadi, ada yang mau kamu jelasin ke kita nggak? Atau, gimana mau kamu deh. Jelasin boleh, nggak juga nggak pa-pa. Tapi kamu bisa perkirakan sendiri resikonya. Kalau kamu ngomongnya ke kita, lebih enak. Kita masih bisa sabar soalnya. Coba kalo kamu ketangkep lagi nanti-nanti, terus yang interogasi kamu malah orang lain yang bar-bar. Nggak usah jauh-jauh deh. Misalnya Si Candra, kamu bakalan habis. Iya 'kan?"

"Mau ngobrol di sini atau di mana?" senyum Dika tidak luntur sedetik pun.

Tapi bukannya berterimakasih karena kesabaran kami, cewek itu malah menggigil tidak jelas dan menggumamkan sesuatu yang lebih tidak jelas.

Sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata lagi, Safira menjerit keras dan berlari dengan kecepatan tak terduga ke arah Dika.

Aku kaget, serius.

Jadi, aku tidak sempat melakukan apapun. Untungnya, Dika yang punya ketenangan tingkat tinggi sempat merentangkan tangannya. Pada akhirnya Safira tertabrak dan jatuh di pelukan Dika.

Oh, tidak!

Aku iri.

"Tolong ya, jangan mempersulit," kata Dika menenangkan Safira. Hebatnya, hanya dengan Dika berbicara seperti itu, Safira langsung terdiam.

Arka Candra [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang