13

4.7K 379 19
                                    

Candra Agni

*

Tengah malam, aku terbangun dan melayang ke dapur. Merasa kelaparan. Mungkin aku butuh segelas susu cokelat hangat, karena tadi aku lupa minum sebelum tidur.

Ya, aku masih suka minum susu sebelum bubuk cantik.

"Saya tidak mau."

Namun, aku mendengar suara mama di ruang jahitnya.

"Saya tidak percaya hingga hal ini harus melibatkan anak-anak saya. Ini bahaya!"

Mama menelepon seseorang. Yang pasti, bukan papa. Aku lega mengetahui fakta itu. Tapi tetap saja, siapa yang diteleponnya?

Aku mengendap-endap menjelajahi dapur, mencari tupperware berisi susu bubuk. Biarpun kepo, aku tidak bisa mengabaikan perutku yang menjerit ini. Lagipula, suara mama terdengar sampai sini.

"Saya... tidak tau. Tapi, mohon, lindungi mereka. Demi apapun, saya tidak mau hal buruk terjadi. Terutama sekali, pada Candra. Dia..." mama terdiam cukup lama, hingga aku berhasil mengambil stoples. "Tidak sekuat yang dia kira."

Hey!

Kutaruh stoples dengan kasar dan melangkah cepat ke ruang jahit. "Mama nelepon siapa sih?!" tanyaku garang. Astaga, aku kok kasar?!

Mama menoleh kaget, buru-buru memutus sambungan.

"Ma, Candra kan udah bilang. Tolong percaya Candra. Kakak itu aman, ma. Kakak nggak kenapa-napa. Candra jamin seribu-persen-plus-plus! Mama kok tega sih bilang Candra nggak sekuat yang Candra kira? Mama tahu sendiri Candra sejak kecil, sejak masih ingusan, selalu menjadikan kakak sebagai panutan. Candra selalu berusaha jadi bayangan kakak yang sempurna. Candra berusaha jadi kuat, tujuannya ya biar mama tahu Candra ini bisa berdiri sendiri. Ma..." aku terengah-engah. Astaga, kenapa aku berlebihan sekali sih hanya gara-gara dibilang tidak kuat? "Itu tadi siapa, ma?"

Hening sekali.

"Siapa ma??" tanya memaksa.

"Candra, kamu selalu seenaknya! Kamu nggak pernah mikir ke depannya akan seperti apa! Pola pikirmu, tingkahmu, semua seenaknya!" wajah mama mengeras.

Aku terdiam.

"Kamu pikir mama nggak khawatir? Maaf, mama tau mama jarang bisa hang out sama kamu kayak mamanya Ratna. Mama tau mama nggak seasik mamanya Dika. Tapi, mama..." mama menarik napas. "Duh, mama nggak suka kalo jadi dramatis gini."

Sejak lahir aku sudah tahu kalau mama menurunkan sifat jaimnya padaku.

"Intinya," kata mama lagi, berdeham. "Mama sayang."

"Tapi tadi siapa?" tanyaku bersikeras.

Mama membuka mulut, lalu mengatupkannya lagi. Berpikir apakah harus anaknya ini diberitahu.

Tapi kemudian, bersamaan dengan rasa lapar yang makin menguasai perutku, mama berbicara.

"Danu Girijaya."

Perutku semakin mulas.

Apakah aku butuh susu cokelat hangat, atau justru butuh bertemu intel itu sekarang juga?

Tunggu, dari mana mama kenal Om Danu?

"Dari mana mama ken-" ucapanku terputus ketika mama mengangkat jari telunjuknya.

"Sana, cepetan kalo mau bikin susu. Jangan tidur malem-malem," ucap mama setengah jutek setengah jaim. "Terus, kalo kamu mau ikut-ikut masalahnya kakak, pesan mama cuma satu: kalo kamu berani aneh-aneh dan nekat nggak karuan, mama jahit mulut kamu ya."

Arka Candra [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang