Anza sih nggak peduli. Bagi Anza main bola itu buang-buang tenaga. Entar kaki Anza jadi capek, terus keringetan gitu. Kemaren sekali main bola-meski berakhir jadi kiper-Anza tetep kecapean.

"Anza nggak mau diejekin sama temen-temen lagi, kan gegara salah masukin bola?" tanya Papi.

Anza mengangguk. Bentaran doang. Karena anak itu langsung mendongak dan menggeleng cepat pada Papi. "Anja nggak salah. Kan Anja masukin ke gawang."

"Nah, itu salah gawang," Papi menjentikkan jari.

"Nggak salah gawangnya. Gawangnya ada dua. Sama-sama warna putih. Sama aja, deh," Anza masih ngeyel.

"Terserah, deh," Papi udah malas adu argumentasi sama Anza. Capek. Capek hati. Capek pikiran. "Entar Anza lihat sendiri deh, Papi sama temen-temen Papi main."

"Anjaaaaa!"

Anza berhenti. Dia diem aja menyambut salah satu temen Papi yang nggak tahu kenapa selalu heboh kalo lihat dia. Itu si Om Galih. "Aduh ... mukanya makin mirip Papi, tapi juteknya kayak Mami," komentar Om Galih.

"Istri gue nggak jutek," Papi menoyor kepala Om Galih.

"Duh, Lang. Dilarang menunjukkan tindak kekerasan di depan anak kecil."

Papi melotot tajam ke arah Om Galih, baru kemudian nyengir lebar ke Anza. "Yang tadi nggak boleh ditiru."

"Anja tahu."

Papi melongo. Om Galih ketawa sambil tepuk-tepuk bahu Papi. "Mbak Andin banget kalo begitu."

"Wah, ada mantan calon anak gue!" Anza mengalihkan pandangan pada satu orang dewasa yang baru aja datang.

"Maksudnya mantan calon anak itu apa, ya?" tanya Papi dengan muka bete yang kebetulan jarang Anza lihat. Soalnya, kalo di rumah Papi kebanyakan nyengir.

"Yah, anaknya mantan gebetan, dong," jawab orang tadi yang Anza kenali dengan nama Om Tio. Jangan tanya Anza kenal mereka dari mana, karena dua orang ini yang sering banget nongkrong nggak jelas sama Papi. Anza pernah diajak sekali, tapi males ikut lagi.

"Inget bini di rumah, Om Tio," kata Om Galih.

"Inget kok, Om Jomblo."

"Kam-"

"Jangan ngomong kasar di depan anak gue!"

Kan obrolan mereka itu nggak jelas. Bikin kepala Anza pusing. "Anja capek, Papi," kata Anza menghentikan perdebatan antara si Papi dan teman-temannya.

"Ya udah, Anza duduk di sana aja," kata Papi menunjuk bangku panjang di pinggir lapangan futsal. Anza mengangguk patuh. Akhirnya dia terbebas dari para orang dewasa yang berisik itu.

"Oh, halo Anza."

"Halo, Om Reno," balas Anza sambil tersenyum ramah.

Anza memilih duduk di sebelah Om Reno yang saat ini lagi menyimpan kaca matanya ke dalam tas. "Tumben ikut Papi main futsal?" tanya Om Reno, yang menurut Anza merupakan temen Papi yang paling jelas.

"Anja nggak ikut Papi main futsal. Tapi, main bola," jawab Anza. Om Reno malah ketawa kecil, sambil ngusap kepala Anza. Anza bingung.

Apa yang lucu?

Oke, Om Reno pun ikutan jadi nggak jelas.

"Anza!"

Anza mengenali suara itu. Kepalanya secara otomatis menoleh dan menemukan Kakak Reka dan Om Bian yang berjalan mendekatinya. Entah kenapa ke-bete-an Anza lenyap. Yah, paling nggak di sini ada si Kakak yang nggak membosankan kayak temen Papi yang lain.

"Anza ikutan main futsal?" tanya Kakak Reka, sedang Om Bian sudah mengobrol bersama Om Reno.

"Anja cuman nonton. Tapi, nonton Papi main bola. Bukan futsal."

Kakak Reka ketawa. "Yah, sepak bola sama futsal emang beda. Tapi, sama-sama nendang bola dan masukin ke gawang lawan. Mirip kok peraturannya," jelas Kakak Reka membuat Anza mengangguk. Ya, ampun. Andai Papi menjelaskannya seperti Kakak Reka. Kan Anza nggak bingung.

"Kakak Reka mau main juga?" tanya Anza.

"Iya, dong."

"Nggak takut capek?"

Kakak Reka menggeleng.

"Nggak takut keringetan?"

"Keringetan itu sehat Anza," kata Kakak Reka.

"Tapi, bau," biasa, Anza masih ngeyel.

"Kan bisa mandi sama ganti baju," balas Kakak Reka dengan sabar. Anza pun mengangguk mengerti.

"Kakak!" Om Bian memanggil Reka.

"Eh, bentar yah. Papa mau ngajakin Kakak pemanasan dulu," pamit Kakak Reka berlari mendekati Om Bian.

"Ngobrol apa aja tadi sama Kakak Reka?" tanya Papi yang entah sejak kapan udah duduk di sebelah Anza.

"Banyak," jawab Anza singkat, malas mengulangi penjelasan Kakak Reka. "Kok Papi nggak bilang Kakak Reka ikutan main?" Anza balik tanya.

"Anza nggak tanya."

Duh, kalo alasan begitu Anza udah males jawabnya. Dia pun mengalihkan pandangan. Memilih memandang ke depan, melihat Kakak Reka yang lagi melakukan pemanasan.

"Kakak Reka itu keren, kan?" Anza mengangguk setuju. Cita-cita Anza adalah bisa sekeren Kakak Reka. "Kalo mau sekeren Kakak Reka, harus jago main bola," kata Papi seolah tahu apa yang dipikirkan Anza.

"Harus banget, Papi?"

"Iya dong."

Anza mendesah pelan. Yah, mau gimana lagi. Anza nggak punya pilihan lain. Anza bener-bener harus belajar main bola biar sekeren Kakak Reka.

Dan yah, biar nggak diejekin temen-temen di sekolah juga karena nggak bisa main bola.
.
.
.
Kkeut

Ini masih ada lanjutannya kok ... kapan? Enggak tahu wkwkwkwk.. bisa nanti.. bisa besok.. bisa kapan-kapan ... berdoa aja biar cepet..

All about AnzaWhere stories live. Discover now