Part 26

2.1K 119 13
                                    

Dahlia baru saja ingin membangunkan Aiden untuk sarapan ketika mendapati anaknya tak berada di kamarnya. Lagi. Ia menghembuskan nafasnya berat. Akhir-akhir ini Aiden jarang berada di rumah. Entah itu menginap di rumah temannya, atau pulang hanya untuk tidur dan makan sebelum pergi bekerja dan tak pulang selama 2 hari.

Tapi apa boleh buat. Dahlia sangat tahu jika putri kesayangannya sedang mempunyai beban masalah yang berat, dan Aiden bukan tipe gadis yang mudah memberitahu apa yang terjadi sebelum dirinya siap. Lagi pula Dahlia juga tahu, Aiden pasti pergi ke tempat yang aman atau setidaknya tidak akan keluar larut jika sendirian.

Aiden sendiri memang berada tak terlalu jauh dari rumahnya. Ia menginap di rumah sakit. Menemani Serra yang menjaga Jade. Anaknya dengan Gavin. Sebenarnya cukup sakit juga jika mengingat status anak itu yang merupakan darah daging Gavin dengan gadis lain. Kadang kali dirinya berharap jika sebenarnya Jade bukanlah anak dari Gavin. John misalnya? Aiden menggeleng kuat. Mencoba menghapus pikiran nista yang tak pernah menjadi identitas seorang Aiden Jun.

Pandangannya jatuh pada seonggok roti yang dibelikan Serra barusan sebagai sarapan. Mereka berencana sarapan bersama di kantin rumah sakit, namun gadis cantik itu pamit padanya untuk kembali ke kamar Jade terlebih dahulu untuk mengurusnya.

Rotinya tampak tidak murah. Untuk apa Serra repot-repot pergi ke toko roti ternama untuk membelikannya sarapan? Di rumah sakit juga ada. Lalu di sampingnya juga tersedia teh hangat dari cafe seberang yang membuat orang biasa kabur setelah melihat daftar menu harganya. Pikiran Aiden berputar, bukankah Serra adalah seseorang seperti dirinya? Maksudnya, sama-sama orang tak punya? Apakah gadis itu gengsi? Ingin menunjukkan yang terbaik pada mantan dari mantan kekasihnya?

Aiden memukul kepalanya berkali-kali. Akhir-akhir ini dirinya selalu berpikir negatif. "Mungkin karena flu yang tak kunjung sembuh membuat otak-ku rusak."

"Masih flu?" Aiden hampir melompat dari kursinya ketika mendengar suara husky yang sangat dekat di telinganya. "Wow wow, tenanglah. Aku bukan pencuri sarapan." Garda menunjukkan kedua telapak tangannya ke udara sambil mengambil tempat di hadapan Aiden.

"Wah, kau benar-benar dokter? Bagaimana jika aku serangan jantung?"

"aku yang akan mengobatinya."

"aku ingat kau berkata kau itu dokter anak."

"Uh-hm."

"Lalu?"

"Apanya?"

Aiden mendesah kasar. Sedangkan Garda tertawa renyah melihat wajah Aiden yang memerah menahan rasa kesalnya. "Ingin jalan-jalan?" Mata Aiden membulat mendengar tawaran Garda yang tiba-tiba.

"Ini masih pukul 8 pagi."

"Aku tak ada jadwal."

"Jika nanti ada pasien tiba-tiba?"

"Ada dokter pengganti."

"Lalu kenapa kau kesini?"

"Bertemu denganmu?"

"Kau tahu aku disini?"

"Ikatan batin?"

Merona. Pipi kurus Aiden merona sempurna mendengar celetukan Garda yang selalu tak bisa ia menangkan, dan kali ini justru membuat hatinya berdesir. Uh ingin rasanya gadis itu mengumpat karena hatinya yang tak kunjung berhenti gugup.

"Jadi?" Garda bangkit dari duduknya, memasukkan kedua tangan besarnya ke dalam saku jas dokter yang 'hanya' iseng dipakainya. Saat di rumah, Gavin sempat memprotes hal itu ketika mengetahui Garda memakainya untuk menarik kekaguman gadis yang sedang ditaksirnya.

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang