Part 17 - Blank

2K 127 16
                                    

Mengenal seseorang lebih lama memang sepertinya cukup berguna untuk menjalin hubungan yang lebih serius, dan rupanya Aiden tidak menerapkannya. Tidak banyak yang di ketahui Aiden tentang kekasih dadakannya itu. Masa lalu, latar belakangnya, dan masih banyak hal lainnya. Yang gadis itu tau hanyalah kenyataan pria tampan hampir berkepala 3 yang kaya raya. Gadis berpipi gembul itu menarik ujung bibirnya, tersenyum kecil mengasihani dirinya sendiri. Kepalanya mendongak sembari menarik sebanyak mungkin oksigen di salah satu sisi sungai Musi yang menjadi favorit nya akhir-akhir ini. Ia terlihat menyedihkan sekarang, dengan wajah sayu dan mulai menampakkan tulang pipinya yang menghilangkan pipi gembul kebanggaannya. Ia terus memikirkan betapa mudahnya dirinya terjerat seorang pria dari luarnya.

Drrt.. Drrt..

Ponsel Aiden bergetar, menampakkan nama sang pemanggil yang membuat Aiden segera berdehem mencoba menetralkan suaranya. Lalu jari lentiknya menekan tombol berlambang telepon hijau, dan mensejajarkan ponselnya dengan telinganya.

"Dimana kau?"

Suara baritone yang terdengar sangat khawatir menyelesak masuk ke dalam indra pendengaran Aiden. Gadis itu masih terdiam, ia belum sanggup untuk mengeluarkan suara yang diyakininya akan bergetar hebat.

"Aku tahu kau mendengarku. Aiden.. Bisakah aku mengobrol denganmu? Kau tahu, ini mungkin mendadak tapi bisakah aku menjemputmu sehabis ini? Aku sangat ingin bertemu denganmu."

Ingin sekali rasanya Aiden melompat kegirangan mendengar kekasihnya itu sangat ingin bertemu dengannya dan mengobrol bersama. Bayangannya akan dirinya dan Gavin bercengkrama berdua, membuat Aiden tersenyum simpul dan pipinya merona dengan sempurna. Namun ketika bayang-bayang kejadian beberapa jam yang lalu membuatnya menurunkan senyumnya, dan perasaan kalut kembali datang ke dalam dadanya. Banyak pertanyaan yang terlintas di kepalanya. Kenapa tiba-tiba? Ada apa? Kenapa Gavin ingin bertemu dengannya?

"Kau tidak mau?"

Pertanyaan itu sukses membuat Aiden segera tersadar dari kebingungannya dan segera menjawab kesutujuannya dengan nada gembira. Ia juga memberikan lokasinya pada Gavin dengan malu-malu.

"Oke aku akan segera kesana. Jangan kemana-mana."

**********

Aiden memang sangat senang untuk menyutujui permintaan Gavin untuk menemuinya. Tapi ini sangat aneh. Semenjak kedatangan Gavin menjemputnya di pinggir sungai Musi hingga saat ini makan malam, Gavin begitu ceria dan menunjukkan sikap-sikap manis pada Aiden. Contoh yang paling sederhana adalah Gavin yang tak pernah melepaskan genggaman tangannya pada Aiden hingga mereka duduk berhadapan untuk makan malam. Dan kali ini restoran mewah yang harga satu porsi menunya tidak akan sanggup dibayar Aiden dengan gajinya selama tiga bulan bahkan disuguhkan dengan dramatisnya di hadapan Aiden dari Gavin, bahkan laki-laki itu memesan beberapa sushi untuk Ibunya dan Danu. Aiden menatap makanan-makanan Jepang itu dengan takjub.

"Aku tidak tahu jika ikan mentah jauh lebih mahal daripada yang matang." Gumamnya pelan namun terdengar oleh Gavin. Lelaki itu memasukkan satu persatu sushi kepiting ke dalam mulutnya sambil memperhatikan Aiden yang berbinar-binar. Ia dan dirinya cukup sama, mereka berdua sangat menyukai hidangan Jepang.

"Kau menyukainya?" Tanya Gavin tanpa melihat Aiden. Gadis itu mengarahkan pandangannya pada Gavin yang telah mengusap bibirnya dengan kain dan meneguk anggurnya. Aiden menegakkan tubuhnya dan tersenyum kikuk, ia tidak ingin membuat kekasihnya malu karena sikapnya yang 'kampungan'. "Ah- iya. Euh.. Apa kau sudah selesai memakannya?"

Gavin mengangguk pelan seraya memulai menggigit dessert di garpu kecilnya. "Wuah. Aku bahkan bingung untuk mulai dengan yang mana."

"Biar aku yang memulainya." Ucap Gavin tenang. Senyuman simpul masih setia di wajah tampannya. Aiden mengangkat kedua alisnya heran, kemudian ia mengambil asal sashimi-sashimi di depannya dengan sumpitnya. "Ada apa? Kau bilang kau ingin mengobrol denganku." balas Aiden pelan. Sebenarnya, Aiden merasakan ada yang janggal dari nada bicara Gavin. Apakah ia akan kembali sakit hati? Ini sudah dua hari berturut-turut.

Gavin masih sibuk menusukkan garpunya pada pudding green tea di hadapannya, "tadi kau ke rumahku?"

Pertanyaan itu sukses membuat Aiden hampir memuntahkan semua sashimi di mulutnya. Ia berkedip berulang-kali dan mencoba menelan makanannya dengan berat. "Ah itu.. Bagaimana- kau tahu?" Aiden bertanya balik tanpa kembali memasukkan ikan-ikan mentah itu ke dalam mulutnya.

Gavin menghentikkan acara makannya dan meletakkan garpunya di samping puddingnya yang masih tersisa, "Apa kau melihat mereka?"

Gadis bersurai cokelat itu menatap manik hitam Gavin dengan penuh keheranan. "Si-siapa?

"Keluargaku." Kali ini Gavin mengulum senyum dengan begitu hangat, dan jantung Aiden mulai berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang