[30] Memahamimu, Memahami Waktu

Start from the beginning
                                    

Sepuluh menit habis untuk membersihkan badan, disusul lima menit untuk menata penampilan ala kadarnya. Rena hanya menyisir rambut dengan tangan dan memakai dasi sambil berlari keluar. Untung, kendaraan umum jam segini mudah dicari. Sayangnya, jalan raya sudah padat. Tinggal beberapa menit lagi sebelum gerbang ditutup.

Ok, pikirnya. Rena, semangat.

Ia turun dari kendaraan umum yang sedang ditumpanginya dan langsung berlari dari persimpangan menuju sekolah. Hanya saja, perlu dicatat, bahwa Rena bukan pelari unggul, dan ia cenderung terbelakang. Maju dalam bidang akademik tidak menjamin kemampuan fisik.

Pak Uus, sang penjaga gerbang berkumis tebal itu, sudah menutup gerbangnya setengah ketika Rena hanya tinggal beberapa meter lagi. Tepat ketika ia sampai, gerbang sudah ditutup total dan Pak Uus menghilang di baliknya. Percuma berteriak dan memelas, tidak ada sejarah ada satupun yang lolos.

Ok, pikirnya lagi. Rena... pasrah.

Tidak.

Tidak secepat itu, ternyata. Dimas, salah satu yang Rena tahu sebagai teman Gilang, menarik tangannya untuk menjauh dari gerbang. "Telat ya, Mba?" godanya, yang jika tidak karena sedang kehabisan napas, sudah Rena berikan tinju.

"Lepas—"

"Percayalah satu-satunya hal yang lo butuhin saat ini, yaitu supaya gue gak lepas tangan lo," kata Dimas. "Karena gue tau caranya masuk tanpa lewat gerbang. Lo gak mau bolos, 'kan?"

***

Ketika Rena berpikir ia akan bersyukur, ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Entah kesialan apa bertemu dengan Dimas di saat seperti ini, yang jelas Rena tidak akan dengan sukarela terjun ke dalam tong sampah.

"Gue gak akan lewat sana!" Rena bersikeras.

Dimas mendengus. "Ini satu-satunya jalan. Atau lo mau bolos?"

Rena ikut mendengus. "Gue masih waras," katanya, seakan sedang mengingatkan Dimas yang tengah kehilangan akal. "Gue nggak akan lewat sana."

"Ok, silakan, bolos aja sana," sahut Dimas jengkel. Dan tanpa diduganya, Rena benar-benar berbalik dan bersiap pergi.

"EH, TUNGGU!" panggilnya cepat-cepat, menahan tangan Rena. "Lo seriusan gak mau?"

"Menurut lo?"

Pasalnya, Dimas mengajak Rena untuk menaiki pagar sekolah demi melompat ke dalam. Tetapi untuk menaiki pagar sekolah, yang sialnya dibangun dengan semen hingga tidak memiliki pijakan sama sekali, mereka harus memanfaatkan tong sampah besar sebagai tempat memanjat.

Jawaban Rena? Tentu tidak. Memanjat tong sampah sama sekali tidak terdengar menggiurkan, bahkan meski imbalannya adalah daftar hadir tanpa coretan absen. Selain itu, menurutnya, percuma jika ia bisa sampai ke kelas jika tubuhnya sudah tidak nyaman untuk belajar. Bau sampah dan penuh keringat. Maka ia memilih untuk memutar balik, pergi entah kemana untuk menjernihkan pikirannya yang akhir-akhir ini dipenuhi oleh berbagai hal tidak jelas.

Dimas menahan tangannya lagi.

"Apa sih?"

"Lo mau kemana? Gue ikut."

Rena memutar bola matanya dengan jengkel. "Gak jadi panjat tebing?" sindirnya, merujuk pada ide memanjat-tong-sampah milik Dimas.

Dimas hanya menyengir. "Kagalah," jawabnya cepat. "Lo mau kemana? Bolos 'kan? Yuk, gue temenin."

"Mencurigakan."

Laki-laki itu berdecak. Sahutnya, "Gue temen Gilang. Kalo ada apa-apa, lo boleh lapor ke dia. Niscaya dia bakal langsung kirim tukang pukul buat gebukin gue. Gimana? Menjamin?"

R untuk RaffaWhere stories live. Discover now