2014, Kubangga jadi indigo [6]

22 4 5
                                    

♦~♦~♦~♦~♦~♦~♦~♦
2014
Kubangga Jadi Indigo
Bab 6
♦~♦~♦~♦~♦~♦~♦~♦


Sejak berusia sekitar tiga tahun, semasa masih tinggal di rumah kontrakan daerah Pondok Pinang, gue sudah menjadi anak yang beda. Keberanian dan kepekaannya tidak terlalu baik dan menjadi ganjaran untuk kedepannya.

Bila anak kecil pada umumnya bermain di taman bermain atau setidaknya di tempat bermain yang normal, gue bermain di dalam area kuburan. Bukan salah gue sepenuhnya karena tepat di belakang rumah kuburan dan gerbang kuburan selang dua rumah dari rumah gue. Lokasi rumah yang berhimpitan pun membuat anak kecil di sana tak ada lahan bermain.

Kuburan yang dipenuhi bunga warna-warni memikat saat itu. Gue yang sangat tak kenal takut ini mengajak teman-teman ikut bermain ke kuburan.

"Aldi, Eno," panggil gue lalu mendekati seorang bocah laki-laki berpipi tembam dan seorang bocah perempuan berambut keriting. Bocah-bocah yang dipanggil menyaut, menatap penuh rasa penasaran.

"Ada apa, Mi?" tanya Aldi, anak kecil cowo dengan pipi tembam seperti gue.

"Main ke kubulan yuk!" ajak gue yang masih cadel.

Anak cewe berambut keriting, Retno tapi gue panggil Eno berdigik ngeri, "Gak mau. Nanti ada pocong."

"Ga ada..,"gue berusaha meyakinkan. "tadi aku udah liat ke sana. Ada bunga cantik-cantik di sana. Kita bisa buat mahkota puteli dan pangelan dari bunganya."

Sejak kecil gue sudah jadi penggoda ulung yang mampu menarik orang untuk mengikuti keinginan gue loh. Gue pun terlalu berani untuk anak seusia ini.

"Celius, Mi? Aku mau ikut!" pekik Aldi dengan riang. "aku mau buat mahkota pelinces untuk kamu, Mi." bersemulah pipi Aldi.

Gue menggandeng Aldi, "Ayo kita ke sana!" Aldipun mengekori.

Merasa bingung karena ditinggal sendiri, Retno berlari menyusul. "TUNGGUIN!"

Gue memimpin langkah enam kaki kecil. Ia membuka gerbang dengan gampang karena tak dikunci. Kami menuju ke sisi kiri dekat gerbang. Kemudian mulai mencabuti bunga di atas gundukan tanah kuburan. Banyak bunga yang tumbuh di atas gundukan tanah makam.

Tak hanya sekali gundukan makam diinjak kaki mungil tiga sahabat ini. Dengan santainya kami mengumpulkan bunga dan meletakkannya di ujung baju yang sudah jadi wadah.

Ketiga bocah ini tak sadar ada sosok besar, hitam, rambutnya gondrong dan kakinya tak menapak pada tanah sedang menatap mereka dengan murka di bawah pohon beringin. Sosok itu melayang mendekat bersamaan dengan suara teriakkan dari jendela rumah samping kuburan.

"Emi, Aldi, Retno!" teriak uak dari jendela rumahnya. "Pulang, nak. Jangan main di kuburan." Ketiga bocah ini akhirnya pulang ke rumah masing-masing karena takut diomelin uak yang sudah mereka anggap nenek.

"Besok kita main lagi ya," bisik gue pada kedua sahabatku yang dijawab anggukan.

Sebelum menutup gerbang, gue versi bocah melihat sosok genderuwo. Bukannya lari kocar-kacir, bocah ini ingin masuk ke kuburan lagi. Tarikan Aldi membuatnya terpaksa mengekori.

°°°

"Itulah cerita masa kecil gue pas main di kuburan dan melihat setan pertama kalinya," ujar Emi dengan bangga di hadapan sahabat-sahabatnya.

Waktu istirahat memang biasa dihabiskan ketiga sahabat plus Rivaldo dan Rick untuk berbagi pengalaman akan hantu dan cerita horror. Emi menceritakan hal bodoh yang dia lakukan pas masih kecil walau sudah SMP dia tak jarang melakukan hal bodoh juga sih.

JejasWhere stories live. Discover now