Tentu saja aku merutuk dalam hati. Seharusnya aku tidak perlu menjelaskan alasannya. Rasanya yang kukatakan tadi seperti kebohongan pada umumnya, melebih-lebihkan penjelasan. Tapi sebenarnya, aku tahu kalau Nael akan bertanya alasannya.

"Oh? Kau butuh syal tambahan?" Nael beranjak dari duduknya, membuatku cengo, "tunggu sebentar, ya."

Menghilangnya Nael di balik tenda membuatku ketakutan. Apakah kebaikannya hanya sandiwara belaka? Apa dia sedang membangunkan Zuo dan Grus? Apa mereka sedang mendiskusikan eksekusi mati untukku?

Aku hanya si pengecut yang memasukkan jemari dinginku ke dalam saku, mencengkram pil kenyang dan tambang sampanku erat-erat.

Nael akhirnya keluar dari tenda. Saat ia tak sengaja menyibakkan tenda karena kesulitan mengeluarkan tas, aku sempat melihat Zuo dan Grus masih nyenyak dalam kantong tidur mereka. Yang jelas, aku tahu bahwa mereka benar-benar masih terlelap, karena wajah Grus mirip dengan kuda nil milik Mr.Gibson--tetangga rumahku--yang sedang menguap.

"Sini, duduk." Nael menepuk-nepuk sebuah batu di sebelahnya. Aku langsung duduk dan ia membuka isi tasnya. "Ini buatmu."

Bukan, dia tidak memberikan selimut untukku. Nael memberikan ...,

"Mengapa kau memberiku senter?" tanyaku terbata. Jangan bilang Nael tahu soal rencanaku kabur dari sini.

Nael berkedip beberapa kali, "karena kebetulan senternya berlebih?"

Itu lebih ke pertanyaan daripada jawaban, menurutku.

"Oh, kau pikir aku akan memberikanmu selimut, ya?" Nael terkekeh, lalu melepaskan syalnya dan langsung mengalungkannya di leherku (lagi). "Kau lucu, ya."

Kedua pipiku langsung terasa terbakar. "B-bukan begitu, maksudku."

"Tidak apa, tubuhku masih hangat. Kau pakai saja dulu."

"Dia tidak bisa mendaki, merepotkan." Sandi yang dibuatnya kemarin, membuatku berpikir ulang untuk langsung menerima kata-katanya.

"Nael, berapa umurmu?" tanyaku.

Nael menatapku agak lama. "Tenang saja, aku masih muda. Hm, mungkin kita hanya berbeda tiga atau empat tahun? Berapa umurmu?"

"Lima belas," balasku.

"Kita hanya berbeda tiga tahun. Lima belas tahun, hm... bukankah seharusnya kau sudah mengikuti kegiatan tambahan sekolah? Club apa yang kau ikuti?"

Survivalife. Tidak, tidak, kau tidak akan menjawab itu.

"Survivalife?"

Pertanyaan dari Nael malah membuatku tersentak kaget. Darimana dia tahu?!

"Eh? Benar? Kupikir kau dari Survivalife karena kau bisa sampai kemari hanya dengan sampan tipe A," terangnya sambil tersenyum hangat, "bukankah kau bersyukur, karena masuk ke club itu? Di sekolah lamaku di Waterasium, club itu bahkan tidak bisa berdiri lebih dari sebulan, karena tidak ada anggota yang bergabung."

Aku benar-benar terbungkam.

Entah mengapa, aku mulai iritasi dengan satu persatu perkataannya.

"Mengapa kalian berbaik hati menyelamatkanku?"

Nael terdiam beberapa saat. "Kami tidak menyelamatkanmu, kau yang berhasil menyelamatkan dirimu sampai kau bisa berada di sini. Kau tahu, kan? Apa prinsip para pendaki?"

"Ya, tentu. Sesama pendaki adalah keluarga."

Memangnya, di keadaan kritis seperti ini, prinsip itu masih berlaku? Lagipula aku bukanlah pendaki. Mulutku gatal ingin mempertanyakan hal itu, tapi aku menahan diri. Maksudku, siapapun Ezid yang tak sengaja terbunuh itu, aku bisa mendapatkan kesimpulan bahwa Ezid bersalah karena dia ingin memonopoli seluruh pil kenyang sendirian.

AQUA WorldWhere stories live. Discover now