Dua Puluh Satu

1.1K 128 70
                                    

Natasha berlari di koridor rumah sakit. Berlari menuju kamar inap Maminya yang tadi Rethan sudah beritahu letaknya. Ia tidak peduli tatapan orang-orang yang memandangnya aneh. Yang terpenting sekarang ia harus tahu bagaimana kondisi Maminya.

Kakinya terus berlari sampai tubuhnya tepat berdiri di hadapan Papinya. Sontak, semua orang yang duduk di ruang tunggu depan kamar Maminya bangkit ketika melihat Natasha.

"Pi, Mami kenapa?" Dengan napas tersengal Natasha bertanya.

Melihat Papinya kacau, Natasha menyimpulkan jika Maminya sedang tidak baik-baik saja.

"Pi?"

Adam ingin menjawab. Namun, melihat keadaan anaknya yang sudah kacau membuat suaranya tertahan di tenggorokan.

"Jawab, Pi."

Adam menarik Natasha ke pelukannya. Semoga saja anaknya sudah lebih dewasa untuk menerima semua.

Dielusnya kepala Natasha sambil menjawab, "Mami kamu terkena komplikasi hati, Sya."

Siapapun tolong katakan bahwa Papinya bercanda. Tidak mungkin kan Maminya mengalami hal itu?

Natasha menggeleng sambil tertawa. Ia berusaha melepas pelukan Papinya. "Pa-Papi bercanda kan?"

Rethan yang sedari tadi hanya memperhatikan mulai turun tangan. Ia tahu, Natasha sudah memiliki masalah lain di luar sana melihat penampilannya yang sangat kacau. Bukan mencerminkan Natasha sama sekali. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan bajunya yang kusut membuat Natasha terlihat menyedihkan. "Sya, Papi lo bener."

Kini Natasha berbalik menghadap Rethan. Jadi, semua orang yang ada di sini bersekongkol untuk mengerjainya?

Seketika itu pintu kamar inap Mami Natasha terbuka. Memperlihatkan seorang dokter yang keluar bersama seorang suster. Adam segera menghampiri dokter itu.

"Keadaan pasien memburuk. Terdapat kerusakan di saluran empedu. Penanganan pasien sedikit terlambat. Apa tidak ada gejala yang diperlihatkan sebelumnya?"

Ucapan dokter itu mau tidak mau membuat Natasha percaya. Tubuhnya lemas seketika. Kenapa harus Maminya yang mengalami hal ini? Kenapa bukan ia saja?

"Tidak dok. Istri saya tidak pernah menunjukkan apapun sebelumnya. Dia terlihat seperti orang-orang sehat pada umumnya."

Dokter itu mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Pasien akan sadar dalam beberapa jam ke depan. Jika tidak sadar juga kami akan ambil tindakan lebih lanjut." Dokter yang bernametag Zaki Dermawan itu terdiam sebentar. "Jika ingin melihat pasien, silahkan. Mungkin hanya dua orang saja dalam sekali kunjungan agar pasien tidak pengap. Saya permisi dulu."

Sepeninggal Dokter Zaki, Natasha masuk ke kamar Maminya dengan tergesa. Ia ingin segera melihat keadaan Maminya.

Hatinya seperti terhempas dari ketinggian begitu melihat Maminya terbaring lemah tak sadarkan diri dengan alat-alat yang menempel di tubuhnya. Natasha menghampiri Maminya secara perlahan. Lalu memegang tangan Maminya yang tidak terpasang selang infus itu dan menempelkannya ke pipi. Natasha menangis. Namun, kali ini ia menangis dalam diam. Ia tidak lagi meraung karena tidak ingin mengganggu Maminya.

Natasha baru sadar sekarang. Ia pernah dua kali melihat Maminya seperti menahan sakit. Namun, Maminya selalu mengelak dengan mengatakan kalau ia lapar. Andai saja ia lebih memerhatikan Maminya daripada dirinya sendiri atau daripada orang yang ia cintai namun tidak mencintainya balik, mungkin Maminya tidak sampai harus tertidur seperti ini.

Jika di dalam Natasha menangis dalam diam, di luar Rethan sedang mencoba menghubungi Reyhan. Mungkin saat ini Natasha butuh Reyhan untuk menenangkannya, pikirnya. Namun, berkali-kali ia coba Reyhan sama sekali tidak mengangkat panggilannya.

SidenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang