[25] Realita

4.1K 479 22
                                    

Malam ini, langit memang kontras dengan suasana hatinya yang kelabu. Tidak ada bintang, juga bulan. Langit terlihat hitam pekat, seperti turut menaungi kesedihan Prilly yang tengah patah hati.

Prilly menghela nafasnya berat, sama beratnya ketika Ia harus menerima kenyataan bahwa hari ini adalah hari jadi Ali dengan Kiara.

''Pril..''

''Udah kenapa sih, sedihnya..''

''Lo nggak capek apa nangis mulu dari tadi?''

Kontan saja, ucapan dari Keano --pemuda yang kini duduk dihadapan Prilly -- berhasil membuat Prilly terkesiap, dan segera menghapus kembali airmatanya yang tanpa Ia sadari masih saja terus mengalir. "Gue cengeng banget ya, Kean. Sorry."

Keano menggeleng, "Bukan gitu.." mencondongkan tubuhnya dan ikut serta mengusap mata Prilly dengan tangannya. "Cuma ya, bisa kali dipause dulu. Dilanjut besok gitu. Gue takut bakal banjir, soalnya." Gurau Keano dengan wajah memelas yang Ia buat buat dengan gaya soknya.

Prilly terkekeh pelan.

Bukan karena rasa sakitnya hilang.

Atau lebam dihatinya pudar.

Prilly hanya, menghargai usaha Keano yang sejak tadi sudah bersusah payah berusaha menghiburnya.

Memang, gurauan Keano terdengar biasa saja. Yang luar biasa adalah, kehadiran sosoknya.

Keano, yang tiba tiba saja hadir menghadangnya dan Ali yang berjalan untuk menuju kelas Kiara.

Pemuda itu, memaksa Prilly untuk ikut dengannya. Meskipun awalnya Ali bersikeras untuk mengajak Prilly bersamanya, tapi jangan sebut Keano jika Ia tidak bisa memutar otak dan memutar balikkan keadaan hingga akhirnya Ia berhasil membawa Prilly pergi.

Jauh.

Sangat jauh dari jangkauan Ali dan Kiara yang mungkin saat ini tengah berbahagia.

Begitu jauh hingga Prilly bisa dengan bebas meluapkan tangisnya disini, bersama Keano.

"Neng Prilly mah geulis pisan atuh, senyumnya manis daripada tadi waktu nangis.."

Dan kali ini, Keano sukses membuat Prilly tertawa dengan ucapannya dengan logat sunda yang Ia buat buat. "Asli. Muka Lo kocak, Kean."

"Ganteng kali ini mah." Protes Kean, sebelah alisnya Ia naikkan untuk menggoda Prilly.

"Najis ah, sok banget deh." Tentang Prilly dengan suara lantang, setidaknya sudah tidak separau tadi.

Keano tersenyum, dan mendekap Prilly dalam sekali tarikan.

Pemuda itu memejam, dengan simpul kecil yang tertarik dikedua ujung bibirnya. Keano tersenyum, mengingat momen pertama kali keduanya bertemu di appartemet Ali. Biasa, namun bagi Keano memberi kesan yang berbeda.

Mungkin, itulah yang disebut cinta pada pandangan pertama.

Keano merasakannya.

"Kita emang baru aja kenal, sih.."

"Tapi jangan sungkan buat bilang apapun masalah Lo ke Gue, ya? Gue bakal bantuin Lo, bakal selalu ada buat Lo. Tenang aja.."

Prilly yang rapuh, hanya mampu mengangguk samar mengiyakan apa yang dikatakan Keano.

Dalam keadaannya yang seperti ini, Ia memang butuh didengar dan terkadang juha bersandar. "Udah ah, pulang yuk. Udah malem banget, ini." ajak Prilly yang kini buru buru menjauh dari dekapan Keano.

Gadis itu mengusap wajahnya sekali lagi, kemudian merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu setelahnya, barulah Ia kembali menatap Keano untuk mengajak pemuda itu segera pulang.

PERFECT SCANDALWhere stories live. Discover now